Foto-foto Inge Renca Sianturi
Mirip – Bisa disimpulkan, karakteristik jeram Air Manna hampir mirip Sungai Asahan di Sumatera Utara. Arusnya cenderung agresif dan liar. Di musim hujan, bentukan sungainya bisa mencipta rangkaian standing waves panjang dan saling terhubung (atas).
Mirip – Bisa disimpulkan, karakteristik jeram Air Manna hampir mirip Sungai Asahan di Sumatera Utara. Arusnya cenderung agresif dan liar. Di musim hujan, bentukan sungainya bisa mencipta rangkaian standing waves panjang dan saling terhubung (atas).
Kembali ke alam, apa pun bentuknya, selalu menjadi momen paling menyenangkan. Alasan itu juga yang memacu saya untuk melawat ke Desa Tanjung Sakti, Kabupaten Lahat – Sumatera Selatan ini. Selama dua hari, saya dan beberapa rafters (pengarung jeram) coba menjajal ketangguhan jeram-jeram Sungai Air Manna yang bercokol di kelebatan rimba.
Seperti wilayah pinggiran Sumatera lainnya, empat jam perjalanan Lahat – Tanjung Sakti itu penuh kelokan tajam. Sesekali, terlihat jurang menganga. Tapi di lain waktu, tampak kuning padi meliuk-liuk di antara nuansa hijau belantara raya dan hamparan perkebunan kopi yang lama-kelamaan semakin mendominasi pemandangan.
Setibanya di Tanjung Sakti, kami langsung bersua dengan Erwin Gumay, penggiat alam bebas dari Lahat. Kedatangan kami juga disambut senyum ramah penduduk setempat yang menyongsong di muka dusun. Bahkan, Drs. Lukman Panggarbesi, camat desa itu berada di antara mereka. Uniknya, ia sendiri pun rela bergabung dan siap memandu kami melakukan survei jeram siang hari itu juga.
Sebagai aktivitas pra-pengarungan, kegiatan pertama itu hanya berkutat pada penelusuran data-data sungai. Mulai dari pencarian entry point, menandai bentukan dan tingkat kesulitan jeramnya, hingga ke soal penentuan jalur bagi tim darat yang akan mengiringi selama pengarungan.
Tentu, bukan perkara enteng melakukan hal itu. Memburu entry point yang mudah kami jangkau dari tepi jalan setapak penduduk, misalnya. Terpaksa golok dan parang dikeluarkan demi menerabas kepungan hutan perawan nan lebat ini.
Herannya, sepanjang menyi-sir lembah penuh onak duri, tak tampak satu pun bekas tebangan liar. Yang pasti, sejauh pengamatan mata dan atas informasi penduduk setempat yang saya peroleh, hutan yang mengepung sungai ini masih sangat alami dan terjaga keasliannya. Dan tampaknya, baik penebang maupun para cukong kayu dari kota-kota besar masih ”silap mata” dengan kelestarian itu.
Terbukti, selama puluhan tahun, hujan lebat tak pernah menjadikan penduduk wilayah ini kerepotan dengan musibah banjir dan longsor. Bagi peminat arung jeram, tentu saja menguntungkan, sebab debit air sungai yang berhulu di Gunung Dempo (3.159 mdpl) ini tak pernah surut, kendati di musim kemarau seperti sekarang.
Hari Pertama
Sehari usai pendataan, ihwal kehebatan Air Manna total terbukti. Di hari pertama, kami membagi dua etape pengarungan. Etape pertama bermula dari dusun Sindang Panjang (desa Tanjung Sakti) hingga dusun Gunung Kerto. Etape selanjutnya berlangsung di antara jeram-jeram dusun Gunung Kerto dan berakhir di dusun Simpur. Total 19 kilometer yang akan ditempuh hari ini.
Bara semangat kepalang berkobar di dada, pantang untuk mundur. Apalagi, saya, Dompi, Jack, Erwin Gumay dan rekannya, Andi, sudah bersiap dalam posisi mendayung. Maka, selepas doa bersama, dayung pun dikayuh. ”Majuu...!” aba-aba Jack.
Belum jauh jarak perahu dari tepi sungai. Mendadak, kesialan menimpa. Saat perahu melabrak jeram pertama, benda karet itu berguncang hebat. Sialnya, pijakan kaki saya kurang mantap, alhasil, tubuh saya limbung seketika dan terlempar dari perahu.
Untunglah, di antara derasnya gelombang standing waves (jeram berbentuk ombak berdiri) tersebut, Andi masih bisa meraih tangan saya. Sigap. Tapi selanjutnya, malah gantian dia yang bernasib serupa. Kendati selamat, pemuda kelahiran Lahat ini sempat dua kali timbul tenggelam dipermainkan buih-buih jeram.
Sampai menjelang akhir etape satu, kami belum merasakan rintangan yang berarti. Kecuali satu buah jeram besar berbentuk penurunan (drop) setinggi satu meter. Sesuai aba-aba Jack, perahu masuk perlahan ke mulut jeram itu. Tepat, begitu mulut jeramnya habis, kayuhan semakin diperkuat untuk menghindari hisapan arusnya ke tebing. Perahu lolos.
Pengarungan terasa makin seru, saat memasuki dusun Gunung Kerto. Aliran Air Manna menyatu dengan Air Suka Merindu. Akibatnya debit air menjadi lebih tinggi. Ini terbukti dengan standing wave yang dari jauh terlihat biasa saja, ternyata malah sebaliknya. Besar dan menyeramkan, membuat bentuk perahu seolah mengecil.
Selepas jeram itu, perahu menepi untuk rihat. Puas menjerang rihat, pengarungan kembali berlanjut. ”Siapkan konsentrasi penuh, kita tak tahu ada apa di depan,” komando Jack, seraya mulai mendayung. Betul saja. Satu lidah riam menyambut, berbuih dan sangat menantang. Terbentuk dari dua buah jeram hydraulic (terbentuk karena aliran vertikal). Demi memperoleh siasat untuk melaluinya dengan gemilang, kami melakukan scouting (pengintaian jeram) di tepi sungai berbatu. ”Kita ambil jalur kanan. Usahakan jangan sampai ada yang jatuh,” tukas skipper (juru kemudi) kami itu, lantang.
Kiranya, inilah saat paling tepat membentrokkan nyali dan rasa takut yang porsinya sudah tak jauh berbeda. Maka, perlahan dayung dikayuh, seiring aba-aba Jack mengarahkan perahu masuk ke dalam amukan jeram itu. Dalam hitungan detik, saya sulit mengingat apa-apa lagi. Yang ada, hanya berkonsentrasi penuh mendengar arahan skipper, sambil mendayung cepat laksana kemasukan setan.
Mendebarkan, memang. Apalagi, saat saya mengetahui, perahu kami gagal menghindari jalur kanan yang pertama. Karena perahu miring 45 derajat, Dompi dan Andi terlempar ke luar. Nyaris, Jack pun ikut terlempar dan dilalap air. Tapi dengan kesigapan tinggi ia bisa menghindarinya.
Di tengah situasi kacau balau, Erwin yang duduk di sebelah saya terjerembab ke bagian dalam perahu. Tak ayal, posisi perahu menjadi kurang seimbang, bisa terbalik. Terpaksa, agar itu tidak terjadi, saya mengimbangi berat perahu dengan berpindah posisi ke bagian kanan.
Hari Kedua
Memasuki hari kedua, tingkat kesulitan sedikit berkurang. Kendati begitu, pengarungan di sepanjang rute Dusun Simpur hingga desa Pulau Timun itu tetap berjalan seru dan menegangkan.
Kebanyakan jeram di 10 kilometer rute tersebut hanya berkisar pada standing waves. Kami pun banyak berjumpa patahan sungai yang tingginya bisa melebihi satu setengah meter atau lebih. Hanya Jeram Lubuk Sibayang, sebuah jeram yang sempat membuat otak kami lama berputar untuk menentukan jadi atau tidaknya diarungi.
Bentuk Lubuk Sibayang berupa patahan setinggi 1,5 meter. Tepat di depannya, sebuah batu besar sudah siap menghadang laju perahu. Jika stag di situ, risikonya bisa terbalik, Maka, bersiaplah diempas rangkaian standing waves yang jaraknya pun tak berjauhan dengan patahan tersebut.
Nasib baik, lagi-lagi, masih berpihak pada tim perahu. Perlahan dan penuh kewaspadaan mereka menyongsong lidah jeramnya. Dan, begitu melewati patahan itu, mereka lantas mendayung kuat, sehingga benda karet itu tak sampai tertahan di batu.
Menjelang petang, tim tiba perahu di lokasi finish dusun Pulau Timun. Saya, Armen, dan Ican yang menjadi tim darat, tercengang menyaksikan kerumunan penduduk. Tampaknya, mereka tak sabar lagi ingin menyaksikan ”pemandangan” tak lazim di dusun mereka yang terpencil itu.
Malamnya, dalam suasana keluarga desa nan damai di pelukan rimba belantara, kami menghabiskan waktu. Bercengkerama ihwal ketegangan-ketegangan yang kami alami selama dua hari ini. (m. lati
Seperti wilayah pinggiran Sumatera lainnya, empat jam perjalanan Lahat – Tanjung Sakti itu penuh kelokan tajam. Sesekali, terlihat jurang menganga. Tapi di lain waktu, tampak kuning padi meliuk-liuk di antara nuansa hijau belantara raya dan hamparan perkebunan kopi yang lama-kelamaan semakin mendominasi pemandangan.
Setibanya di Tanjung Sakti, kami langsung bersua dengan Erwin Gumay, penggiat alam bebas dari Lahat. Kedatangan kami juga disambut senyum ramah penduduk setempat yang menyongsong di muka dusun. Bahkan, Drs. Lukman Panggarbesi, camat desa itu berada di antara mereka. Uniknya, ia sendiri pun rela bergabung dan siap memandu kami melakukan survei jeram siang hari itu juga.
Sebagai aktivitas pra-pengarungan, kegiatan pertama itu hanya berkutat pada penelusuran data-data sungai. Mulai dari pencarian entry point, menandai bentukan dan tingkat kesulitan jeramnya, hingga ke soal penentuan jalur bagi tim darat yang akan mengiringi selama pengarungan.
Tentu, bukan perkara enteng melakukan hal itu. Memburu entry point yang mudah kami jangkau dari tepi jalan setapak penduduk, misalnya. Terpaksa golok dan parang dikeluarkan demi menerabas kepungan hutan perawan nan lebat ini.
Herannya, sepanjang menyi-sir lembah penuh onak duri, tak tampak satu pun bekas tebangan liar. Yang pasti, sejauh pengamatan mata dan atas informasi penduduk setempat yang saya peroleh, hutan yang mengepung sungai ini masih sangat alami dan terjaga keasliannya. Dan tampaknya, baik penebang maupun para cukong kayu dari kota-kota besar masih ”silap mata” dengan kelestarian itu.
Terbukti, selama puluhan tahun, hujan lebat tak pernah menjadikan penduduk wilayah ini kerepotan dengan musibah banjir dan longsor. Bagi peminat arung jeram, tentu saja menguntungkan, sebab debit air sungai yang berhulu di Gunung Dempo (3.159 mdpl) ini tak pernah surut, kendati di musim kemarau seperti sekarang.
Hari Pertama
Sehari usai pendataan, ihwal kehebatan Air Manna total terbukti. Di hari pertama, kami membagi dua etape pengarungan. Etape pertama bermula dari dusun Sindang Panjang (desa Tanjung Sakti) hingga dusun Gunung Kerto. Etape selanjutnya berlangsung di antara jeram-jeram dusun Gunung Kerto dan berakhir di dusun Simpur. Total 19 kilometer yang akan ditempuh hari ini.
Bara semangat kepalang berkobar di dada, pantang untuk mundur. Apalagi, saya, Dompi, Jack, Erwin Gumay dan rekannya, Andi, sudah bersiap dalam posisi mendayung. Maka, selepas doa bersama, dayung pun dikayuh. ”Majuu...!” aba-aba Jack.
Belum jauh jarak perahu dari tepi sungai. Mendadak, kesialan menimpa. Saat perahu melabrak jeram pertama, benda karet itu berguncang hebat. Sialnya, pijakan kaki saya kurang mantap, alhasil, tubuh saya limbung seketika dan terlempar dari perahu.
Untunglah, di antara derasnya gelombang standing waves (jeram berbentuk ombak berdiri) tersebut, Andi masih bisa meraih tangan saya. Sigap. Tapi selanjutnya, malah gantian dia yang bernasib serupa. Kendati selamat, pemuda kelahiran Lahat ini sempat dua kali timbul tenggelam dipermainkan buih-buih jeram.
Sampai menjelang akhir etape satu, kami belum merasakan rintangan yang berarti. Kecuali satu buah jeram besar berbentuk penurunan (drop) setinggi satu meter. Sesuai aba-aba Jack, perahu masuk perlahan ke mulut jeram itu. Tepat, begitu mulut jeramnya habis, kayuhan semakin diperkuat untuk menghindari hisapan arusnya ke tebing. Perahu lolos.
Pengarungan terasa makin seru, saat memasuki dusun Gunung Kerto. Aliran Air Manna menyatu dengan Air Suka Merindu. Akibatnya debit air menjadi lebih tinggi. Ini terbukti dengan standing wave yang dari jauh terlihat biasa saja, ternyata malah sebaliknya. Besar dan menyeramkan, membuat bentuk perahu seolah mengecil.
Selepas jeram itu, perahu menepi untuk rihat. Puas menjerang rihat, pengarungan kembali berlanjut. ”Siapkan konsentrasi penuh, kita tak tahu ada apa di depan,” komando Jack, seraya mulai mendayung. Betul saja. Satu lidah riam menyambut, berbuih dan sangat menantang. Terbentuk dari dua buah jeram hydraulic (terbentuk karena aliran vertikal). Demi memperoleh siasat untuk melaluinya dengan gemilang, kami melakukan scouting (pengintaian jeram) di tepi sungai berbatu. ”Kita ambil jalur kanan. Usahakan jangan sampai ada yang jatuh,” tukas skipper (juru kemudi) kami itu, lantang.
Kiranya, inilah saat paling tepat membentrokkan nyali dan rasa takut yang porsinya sudah tak jauh berbeda. Maka, perlahan dayung dikayuh, seiring aba-aba Jack mengarahkan perahu masuk ke dalam amukan jeram itu. Dalam hitungan detik, saya sulit mengingat apa-apa lagi. Yang ada, hanya berkonsentrasi penuh mendengar arahan skipper, sambil mendayung cepat laksana kemasukan setan.
Mendebarkan, memang. Apalagi, saat saya mengetahui, perahu kami gagal menghindari jalur kanan yang pertama. Karena perahu miring 45 derajat, Dompi dan Andi terlempar ke luar. Nyaris, Jack pun ikut terlempar dan dilalap air. Tapi dengan kesigapan tinggi ia bisa menghindarinya.
Di tengah situasi kacau balau, Erwin yang duduk di sebelah saya terjerembab ke bagian dalam perahu. Tak ayal, posisi perahu menjadi kurang seimbang, bisa terbalik. Terpaksa, agar itu tidak terjadi, saya mengimbangi berat perahu dengan berpindah posisi ke bagian kanan.
Hari Kedua
Memasuki hari kedua, tingkat kesulitan sedikit berkurang. Kendati begitu, pengarungan di sepanjang rute Dusun Simpur hingga desa Pulau Timun itu tetap berjalan seru dan menegangkan.
Kebanyakan jeram di 10 kilometer rute tersebut hanya berkisar pada standing waves. Kami pun banyak berjumpa patahan sungai yang tingginya bisa melebihi satu setengah meter atau lebih. Hanya Jeram Lubuk Sibayang, sebuah jeram yang sempat membuat otak kami lama berputar untuk menentukan jadi atau tidaknya diarungi.
Bentuk Lubuk Sibayang berupa patahan setinggi 1,5 meter. Tepat di depannya, sebuah batu besar sudah siap menghadang laju perahu. Jika stag di situ, risikonya bisa terbalik, Maka, bersiaplah diempas rangkaian standing waves yang jaraknya pun tak berjauhan dengan patahan tersebut.
Nasib baik, lagi-lagi, masih berpihak pada tim perahu. Perlahan dan penuh kewaspadaan mereka menyongsong lidah jeramnya. Dan, begitu melewati patahan itu, mereka lantas mendayung kuat, sehingga benda karet itu tak sampai tertahan di batu.
Menjelang petang, tim tiba perahu di lokasi finish dusun Pulau Timun. Saya, Armen, dan Ican yang menjadi tim darat, tercengang menyaksikan kerumunan penduduk. Tampaknya, mereka tak sabar lagi ingin menyaksikan ”pemandangan” tak lazim di dusun mereka yang terpencil itu.
Malamnya, dalam suasana keluarga desa nan damai di pelukan rimba belantara, kami menghabiskan waktu. Bercengkerama ihwal ketegangan-ketegangan yang kami alami selama dua hari ini. (m. lati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar