Langkat – Arung jeram kini sudah tidak lagi menakutkan. Pelakunya pun tidak lagi sebatas pada pegiat alam bebas seperti ketika olahraga ini masuk ke Tanah Air pada era 1970-an, atau ketika mulai digeluti secara profesional di Indonesia sejak tahun 1980. Kegiatan berbahaya berperingkat dua setelah terjun payung ini mulai berkesan ramah dan dikenal luas sebagai pilihan wisata mengasyikkan.
Di Sumatera Utara (Sumut) perkembangannya juga menggembirakan. Walau penggemarnya masih tidak sebanyak seperti di Sungai Citarik yang mencapai ribuan setiap tahun. Sementara ini hanya tiga sungai di Sumut yang lazim dijadikan arena arung jeram, yaitu Sungai Asahan, Sungai Bingei dan Sungai Wampu.
Sungai Wampu merupakan sungai paling populer untuk arung jeram di provinsi ini. Sungai tersebut mengalir melintasi dua kabupaten, yaitu Karo dan Langkat sepanjang lebih dari 140 kilometer. Hulunya berada pada dataran tinggi Karo dan bermuara di kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading, Langkat Timur Laut.
Pada kawasan tertentu masyarakat memberi nama yang berbeda-beda untuk Sungai Wampu. Masyarakat di Karo menyebutnya Lau Biang, lalu ada yang menyebut Lau Tuala. Sedangkan untuk bagian hilir di Langkat dinamakan Wampu. Agak ke bagian muara, masyarakat menyebutnya dengan Ranto Panjang.
Jika melakukan arung jeram di Sungai Wampu, keletihan pertama akan dirasakan saat naik kendaraan menuju titik start di Desa Kaperas, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat, sekitar 87 kilometer dari Medan, Sumut. Letih karena kondisi jalan perkebunan yang tidak beraspal. Kondisi jalan yang buruk membuat perjalanan dari Medan memakan waktu empat jam. Praktis hampir dua jam perjalanan serasa naik kuda, padahal saya dengan rekan-rekan dari Rapid Plus, salah satu organizer arung jeram di Sumut, sudah menggunakan mobil jenis four wheel drive.
Pusing kepala karena jalan rusak maupun akibat kepala terbentur atap mobil langsung hilang begitu kami tiba di pusat Desa Kaperas. Mobil hanya bisa mengantar sampai di sini. Kami selanjutnya berjalan kaki menuju tepian sungai setelah masing-masing mendapatkan jatah dayung, helm dan pelampung. Sedangkan perahu dibawa dengan ojek.
Saat melewati jembatan gantung, derasnya air sungai sudah terlihat. Kenyamanan yang tak bisa disaksikan di kota besar, apalagi di sini tidak ada sinyal handphone. Benar-benar back to nature.
Sumber Air Panas
”Ingat kalau ada aba-aba maju dari skiper, semua dayung maju. Kiri, yang di sebelah kiri dayung kuat, yang kanan dayung mundur. Sebaliknya kalau ada aba-aba kanan, kanan dayung kuat, kiri dayung mundur. Kalau stop, dayung dipegang dan letakkan di pangkuan. Jika terjatuh, upayakan badan mengapung telentang, dengan kaki mengarah ke hilir sungai, bukan kepala,” kata Joni Kurniawan. Mantan Ketua Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI) Sumut ini salah satu pimpinan Rapid Plus.
Begitulah. Kami pun mulai mencecah air. Setelah start langsung dihadapkan pada jeram grade satu. Ini merupakan tingkatan yang paling rendah dari lima tingkatan jeram. Aliran air hanya berombak kecil, tanpa rintangan, jadi tidak terlalu mengkhawatirkan. Jeram pertama itu menjadi semacam latihan awal bagaimana menjaga keseimbangan dan kekompakan.
Selepas jeram pertama, ada beberapa jeram dengan tingkatan serupa. Selanjutnya air tenang sekitar dua puluh meter. Namun harus hati-hati juga terhadap dahan-dahan pohon di pinggiran sungai. Kalau tidak awas, wajah bisa tersabet ranting.
Ketenangan sungai kami nikmati sambil membagi cerita gembira tentang jeram yang barusan dilintasi. Mata kami pun dimanjakan dengan eksotisme tebing-tebing setinggi 15 meter berwarna hitam kelabu yang mengapit sungai. Terik matahari tertutupi pohon-pohon hijau di puncak tebing. Terdengar juga cericit beragam jenis burung.
Sumber air belerang dengan kepulan uap panas kami jumpai setelah melewati tebing kokoh tadi. Hanya sekitar lima belas menit dari titik start. Hampir semua pengarung jeram memasukkan tungkai kaki ke dalam gelembungnya yang berada sekitar tujuh langkah dari tepian sungai sebelah kiri. Selain hangat, air belerang juga bisa menghilangkan penyakit gatal maupun eksim.
Pemandangan di sekitar air panas juga cukup menarik, ada pulau batu berwarna abu-abu agak di tepian sungai. Hampir semua peserta sepakat mengabadikan diri dengan kamera di pulau ini.
Membopong Perahu
Kegembiraan yang lebih seru diperoleh setelah lokasi air panas. Jeram-jeram silih berganti datang dengan jeda istirahat sekitar dua hingga lima menit. Melintasi jeram dengan grade dua hingga tiga, sangat menguras tenaga. Hempasan ombak masuk ke dalam perahu dan pada beberapa titik, jalur menyempit. Jika tidak kompak, alamat perahu akan terjungkal karena menabrak batu besar yang kerap juga melintang di tengah sungai atau terhempas menghantam dinding sungai.
Detik-detik menjelang masuk ke tengah jeram adalah masa paling menegangkan. Diiringi teriakan, ”Satu!! dua..!! tiga..!!, satu..!!..” semua siap dengan kayuhan terbaik. Memastikan perahu mengarah dengan tepat melewati jeram. Setiap kali masuk jeram, penumpang langsung mengambil posisi duduk agak ke tengah perahu agar tidak mudah terlempar dan perahu langgeng melewati jeram. Setelah itu berkumandang lagi teriakan keberhasilan.
Satu jeram yang agak sulit, ditemui sekitar satu jam setelah pengarungan. Tingkatannya mencapai tiga plus dengan panjang jeram sekitar 15 meter. Seorang rekan yang mendampingi saya di bagian depan perahu nyaris terlempar keluar. Untung pelampungnya sempat tergapai, kalau tidak alamat terseret arus. Namun tak urung pangkal dayungnya, mengenai penumpang wanita di belakangnya hingga menyisakan memar merah di pelipis kiri.
”Ini merupakan grade tertinggi di Sei Wampu. Banyak peserta yang meminta ulang untuk melintasi jeram ini karena menegangkan dan seru,” kata Joni Kurniawan mengomentari jeram tersebut. Kami juga mengulang lintasan di sana. Bersama membopong perahu yang rasanya jadi begitu berat setelah letih mendayung. Apalagi batu-batuan sungai cukup pejal dan merepotkan. Keletihan membopong perahu berganti teriakan gembira ketika berhasil melintasi jeram dengan lebih baik. (khairul ikhwan d)
Pada kawasan tertentu masyarakat memberi nama yang berbeda-beda untuk Sungai Wampu. Masyarakat di Karo menyebutnya Lau Biang, lalu ada yang menyebut Lau Tuala. Sedangkan untuk bagian hilir di Langkat dinamakan Wampu. Agak ke bagian muara, masyarakat menyebutnya dengan Ranto Panjang.
Jika melakukan arung jeram di Sungai Wampu, keletihan pertama akan dirasakan saat naik kendaraan menuju titik start di Desa Kaperas, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat, sekitar 87 kilometer dari Medan, Sumut. Letih karena kondisi jalan perkebunan yang tidak beraspal. Kondisi jalan yang buruk membuat perjalanan dari Medan memakan waktu empat jam. Praktis hampir dua jam perjalanan serasa naik kuda, padahal saya dengan rekan-rekan dari Rapid Plus, salah satu organizer arung jeram di Sumut, sudah menggunakan mobil jenis four wheel drive.
Pusing kepala karena jalan rusak maupun akibat kepala terbentur atap mobil langsung hilang begitu kami tiba di pusat Desa Kaperas. Mobil hanya bisa mengantar sampai di sini. Kami selanjutnya berjalan kaki menuju tepian sungai setelah masing-masing mendapatkan jatah dayung, helm dan pelampung. Sedangkan perahu dibawa dengan ojek.
Saat melewati jembatan gantung, derasnya air sungai sudah terlihat. Kenyamanan yang tak bisa disaksikan di kota besar, apalagi di sini tidak ada sinyal handphone. Benar-benar back to nature.
Sumber Air Panas
”Ingat kalau ada aba-aba maju dari skiper, semua dayung maju. Kiri, yang di sebelah kiri dayung kuat, yang kanan dayung mundur. Sebaliknya kalau ada aba-aba kanan, kanan dayung kuat, kiri dayung mundur. Kalau stop, dayung dipegang dan letakkan di pangkuan. Jika terjatuh, upayakan badan mengapung telentang, dengan kaki mengarah ke hilir sungai, bukan kepala,” kata Joni Kurniawan. Mantan Ketua Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI) Sumut ini salah satu pimpinan Rapid Plus.
Begitulah. Kami pun mulai mencecah air. Setelah start langsung dihadapkan pada jeram grade satu. Ini merupakan tingkatan yang paling rendah dari lima tingkatan jeram. Aliran air hanya berombak kecil, tanpa rintangan, jadi tidak terlalu mengkhawatirkan. Jeram pertama itu menjadi semacam latihan awal bagaimana menjaga keseimbangan dan kekompakan.
Selepas jeram pertama, ada beberapa jeram dengan tingkatan serupa. Selanjutnya air tenang sekitar dua puluh meter. Namun harus hati-hati juga terhadap dahan-dahan pohon di pinggiran sungai. Kalau tidak awas, wajah bisa tersabet ranting.
Ketenangan sungai kami nikmati sambil membagi cerita gembira tentang jeram yang barusan dilintasi. Mata kami pun dimanjakan dengan eksotisme tebing-tebing setinggi 15 meter berwarna hitam kelabu yang mengapit sungai. Terik matahari tertutupi pohon-pohon hijau di puncak tebing. Terdengar juga cericit beragam jenis burung.
Sumber air belerang dengan kepulan uap panas kami jumpai setelah melewati tebing kokoh tadi. Hanya sekitar lima belas menit dari titik start. Hampir semua pengarung jeram memasukkan tungkai kaki ke dalam gelembungnya yang berada sekitar tujuh langkah dari tepian sungai sebelah kiri. Selain hangat, air belerang juga bisa menghilangkan penyakit gatal maupun eksim.
Pemandangan di sekitar air panas juga cukup menarik, ada pulau batu berwarna abu-abu agak di tepian sungai. Hampir semua peserta sepakat mengabadikan diri dengan kamera di pulau ini.
Membopong Perahu
Kegembiraan yang lebih seru diperoleh setelah lokasi air panas. Jeram-jeram silih berganti datang dengan jeda istirahat sekitar dua hingga lima menit. Melintasi jeram dengan grade dua hingga tiga, sangat menguras tenaga. Hempasan ombak masuk ke dalam perahu dan pada beberapa titik, jalur menyempit. Jika tidak kompak, alamat perahu akan terjungkal karena menabrak batu besar yang kerap juga melintang di tengah sungai atau terhempas menghantam dinding sungai.
Detik-detik menjelang masuk ke tengah jeram adalah masa paling menegangkan. Diiringi teriakan, ”Satu!! dua..!! tiga..!!, satu..!!..” semua siap dengan kayuhan terbaik. Memastikan perahu mengarah dengan tepat melewati jeram. Setiap kali masuk jeram, penumpang langsung mengambil posisi duduk agak ke tengah perahu agar tidak mudah terlempar dan perahu langgeng melewati jeram. Setelah itu berkumandang lagi teriakan keberhasilan.
Satu jeram yang agak sulit, ditemui sekitar satu jam setelah pengarungan. Tingkatannya mencapai tiga plus dengan panjang jeram sekitar 15 meter. Seorang rekan yang mendampingi saya di bagian depan perahu nyaris terlempar keluar. Untung pelampungnya sempat tergapai, kalau tidak alamat terseret arus. Namun tak urung pangkal dayungnya, mengenai penumpang wanita di belakangnya hingga menyisakan memar merah di pelipis kiri.
”Ini merupakan grade tertinggi di Sei Wampu. Banyak peserta yang meminta ulang untuk melintasi jeram ini karena menegangkan dan seru,” kata Joni Kurniawan mengomentari jeram tersebut. Kami juga mengulang lintasan di sana. Bersama membopong perahu yang rasanya jadi begitu berat setelah letih mendayung. Apalagi batu-batuan sungai cukup pejal dan merepotkan. Keletihan membopong perahu berganti teriakan gembira ketika berhasil melintasi jeram dengan lebih baik. (khairul ikhwan d)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar