Rabu, 25 Februari 2009

Memicu Adrenalin di Arus Liar Telaga Waja

Oleh : Hilda Perbatasari
Selasa, 13 Mei 2008 15:51

Arung jeram atau rafting pada mulanya adalah sebuah hobbi bagi petualang yang mencintai tantangan olah raga air. Berawal dari kenekatan segelintir orang bernyali tinggi, wisata pemicu adrenalin itu terus menggeliat. Seiring berkembanganya dunia pariwisata, pada akhirnya arung jeram menjadi salah satu daya tarik wisata yang banyak digemari. Peminat wisata olah raga ini tidak hanya dari kalangan yang memiliki hobbi bermain arung jeram (rafting) saja, akan tetapi menular pula pada wisatawan yang sedang melakukan liburan walaupun tidak memiliki kemampuan sebagai pengarung.

Setiap orang yang sehat dapat mencoba olah raga arung jeram tanpa ada batasan usia (kecuali anak kecil di bawah usia 10 tahun dan manula yang sakit). Arung Jeram dapat dikategorikan sebagai olah raga petualangan, karena tidak saja mengandung unsur olahraga (sport), tetapi juga petualangan (adventure) dengan berbagai resikonya. Para penggemarnya mengatakan olah raga ini sebagai obat dari kejenuhan rutinitis sehari-hari. Ketika menghadapi jeram-jeram yang terjal para pengarung biasanya akan berteriak untuk melepaskan ketegangan-ketegangan, sehingga menjadikan obat yang ampuh bagi stress.

Bagi Anda pecinta petualangan alam, melakukan olah raga arum jeram (rafting) adalah salah satu cara untuk menguji keberanian dan memicu adernalin dalam tubuh. Hal ini terpicu tidak hanya oleh derasnya arus sungai, akan tetapi juga rintangan-rintangan yang menghadang di arena lintasan jalur berarung jeram. Wisata arung Jeram atau rafting di Bali dapat di lakukan di 2 sungai besar yaitu di Sungai Ayung (Ubud) dan Sungai Telaga Waja (Karangasem). Perbedaan kedua sungai ini adalah pada tingkat kesulitan atau grade dalam berarung jeram. Salah satu tempat ekspedisi arung jeram untuk pemula yang banyak diminati adalah Telaga Waja. Selain panorama alamanya yang mempesona dengan karakteristik topografi perbukitan, jalur untuk melakukan arung jeram juga tidak terlalu sulit.

Telaga Waja, adalah sebuah nama sungai yang mengalir di Kecamatan Rendang, salah satu kecamatan di Kabupaten Karangasem, Bali. Sungai ini mengalir jernih dengan arus yang cukup deras sehingga cocok untuk para pengarung. Tempat ini menjadi destinasi menarik karena lokasinya yang berkolaborasi dengan terasiring persawahan yang berkelok indah, pesona hutan tropical alami, lukisan air terjun yang berundak, kicauan burung liar serta hijaunya perbukitan yang terhampar disekelilingnya. Air yang mengalir deras dengan beberapa jeram dan bebatuan sebagai rintangan menjadi pilihan yang cocok bagi avonturir untuk memacu adrenalin serta menguji nyali. Itulah beberapa alasan mengapa Telaga Waja dipilih menjadi salah satu spot lintasan arung jeram yang cukup menantang di Bali.

Daya tarik lain yang dimiliki Telaga Waja adalah udaranya yang sejuk dan menyegarkan, juga pemandangan Gunung Agung yang memiliki ketinggian 3142 meter di sisi Utara bagaikan lukisan Ilahi yang Maha Sempurna. Tempat ini sering dimanfaatkan juga sebagai jalur trekking bagi para petualang alam.

Suasana pedesaan yang masih sangat tradisional merupakan daya tarik tersendiri di sepanjang aliran sungai Telaga Waja. Di sini Anda dapat menyaksikan penduduk setempat melakukan aktivitasnya sehari-hari dengan sangat tradisional.. Anak-anak kecil setempat pun terkadang tampak di pinggiran sungai menyaksikan para pengarung yang basah kuyup melintasi sepanjang aliran sungai Telaga Waja.

Sungainya sangat bening dan dapat terlihat sampai ke dasar, sangat jauh dari kesan polusi sampah dan air keruh. Air dinginnya menusuk pori-pori kulit berasal dari sumber mata air di pegunungan. Arus di Telaga Waja cukup keras dan memiliki grade 3 hingga 3+ dalam rafting dan masih tergolong aman sebagai sungai wisata. Telaga Waja memiliki debit air yang sesuai untuk berarung jeram dengan beberapa karang dan batu besar di sepanjang aliran sungai.

Pemandangan spektakuler dengan topografi perbukitan bersanding dengan terasiring persawahan, tebing-tebing curam, flora dan fauna liar yang tumbuh menjuntai menyentuh aliran sungai menjadikan potret alam yang menakjubkan. Vegetasi di alam ini juga masih sangat asli ditumbuhi sejenis rumput gajah, didukung bentukan jurang-jurang yang menandakan sungai ini jenis sungai tua yang menyatu dengan alam sekitarnya. Di sini Anda bisa bercengkrama dengan nuansa hutan Bali yang masih natural.

Air terjun banyak dijumpai di sepanjang jalur rafting Telaga Waja ini. Di tengah lintasan, pengarungan akan melintasi air terjun berundak yang sangat unik dan indah. Di tempat ini pengarung akan melakukan istirahat selama beberapa menit sambil mengabadikan kenangan ke dalam sebuah karya photography.

Mata air khas telaga ini adalah keluar melalui bebatuan, sehingga menimbulkan gemericik air terjun kecil yang sangat mengagumkan. Di tebing yang sedikit curam terdapat air terjun yang sangat indah. Beberapa waisatawan asing yang mengagumi keindahannya sempat bergumam ‘it’s feel like in heaven’. Tiada yang memecah kesunyian selain suara hutan berbisik dan irama air sungai yang mengalir.

Rintangan jembatan bambu pun lumayan banyak disepanjang lintasan, ada sekitar 4-5 jembatan yang dibikin warga setempat sebagai penghubung antar desa. Untuk melewatinya pengarung harus ekstra hati-hati dan merundukkan kepala jangan sampai menyangkut, arus yang deras akan membawa perahu melayang di atas sungai dan akan berakibat terguling apabila tidak waspada.

Sebuah tantangan bagi pecinta olah raga air adalah terjun dari ketinggian 4 meter. Dayung melalui air terjun yang mendebarkan dan terjun 4 meter dari bendungan Bajing menuju gulungan jeram. Keselamatan adalah prioritas utama ketika melakukan olah raga arung jeram. Semua perlengkapan yang dipakai harus mengikuti petunjuk keselamatan standar Internasional. Pemandu atau guide yang akan mendampingi pun sudah terlatih dan profesional sebagai pengarung. Bahkan telah lulus dalam pelatihan keselamatan, profesional dalam CPR dan penanganan awal. Kekompakan dalam team work adalah kunci untuk melakukan petualangan arung jeram ini.

Setelah 2 jam melakukan arung jeram menyusuri sepanjang sungai Telaga Waja nan mengagumkan, minuman dingin akan menyambut Anda di restoran yang letaknya tidak jauh dari bibir sungai. Makan siang dan aneka buah tropikal juga tersedia gratis. Lunch buffet dengan kuliner Indonesia yang menggiurkan mendampingi sate lilit ikan khas bali akan menjadikan santapan lezat setelah lelah berarung jeram.

Banyak tour operator di kawasan Bali yang menawarkan paket wisata arung jeram ini dengan harga yang cukup bervariasi, yaitu antara Rp.300.000 hingga Rp.500.000. Harga sudah termasuk transfer hotel, makanan ringan (snacks), welcome drink, perlengkapan rafting, lunch, souvenir, asuransi, serta pemandu rafting yang profesional. Untuk yang tidak bisa berenang akan ada baju khusus atau pelampung dan pemandu yang mendampingi, jadi Anda tidak usah khawatir untuk mencobanya..

Selamat berpetualang di Telaga Waja, jeram-jeram liarnya yang menantang akan memberi Anda pengalaman petualangan yang amat berkesan!

Tips Explore Indonesia :

1. Perhatikan faktor cuaca ketika hendak berwisata

2. Jangan abaikan faktor peralatan safety dan kelengkapannya

3. Perhatikan petunjuk dan instruksi dari guide atau pemandu pendamping

4. Berdoa sebelum memulai petualangan

5. Membawa pakaian ganti, sepatu olah raga atau sandal sungai

6. Menggunakan lotion untuk melindungi kulit dari sinar matahari

Arung Jeram Wonosobo, Makin Diminati Buat halaman ini dlm format PDF Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail
Peringkat User: / 1
PoorBest
Kontribusi dari Kafka
11.10.2006 16:15 WIB
Objek wisata minat khusus berupa arena arung jeram belakangan ini makin banyak penggemarnya. Olahraga pembangkit adrenalin tubuh ini makin banyak bermunculan dimana-mana. Salah satunya seperti yang kini terus dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, dengan memanfaatkan jeram yang ada di aliran Sungai Serayu. Arung jeram di sungai ini lambat laun makin diminati wisatawan nusantara.

Sungai Serayu terletak di Kabupaten Wonosobo - Banjarnegara, Jawa Tengah kira-kira 2,5 jam perjalanan dari Jogjakarta dengan melewati lereng Gunung Sindoro-Sumbing yang menyajikan kesejukan dan panorama alam pegunungan. Sungai ini berada pada ketinggian 500 meter di atas permukaan laut dan sangat mudah dijangkau karena terletak di pinggir jalan raya yang menghubungkan kota Wonosobo dan Banjarnegara tepatnya berdekatan dengan jalan raya Tunggoro-Singomerto.

Mengenai tingkat kesulitan arung jeram di Kabupaten Wonosobo ini bervariasi, mulai dari grade dua sampai grade empat dengan jumlah arung jeram sebanyak 30 jeram. Pada grade yang lebih rendah tingkat kesulitan yang ada masih relatif mudah namun pada grade yang makin tinggi tingkat kesulitan yang harus dilalui pun semakin berat. Namun, bagi peminat arung jeram yang sudah terbiasa berarung jeram dan profesional mengendalikan perahu, makin tinggi tingkat kesulitannya justru makin mengasyikkan dan menarik

Sungai Serayu dengan panjang 25 km dapat total ditempuh selama kira-kira 4,5 - 5 jam pengarungan, tepatnya bisa dari jembatan di Desa Blimbing atau Desa Tunggoro (Kab. Wonosobo) serta Desa Prigi (Kab.Banjarnegara) ke Desa Singomerto, Kecamatan Sigaluh, Kabupaten Banjarnegara. Waktu tempuh ini sudah termasuk istirahat di tengah perjalanan. Arung jeram ini hanya boleh diikuti oleh wisatawan berusia antara 10-60 tahun.

Pada hari Sabtu dan Minggu, apalagi hari libur panjang, banyak rombongan wisatawan nusantara berkunjung ke objek wisata ini. Paling tidak ada delapan sampai 10 rombongan, di mana tiap rombongan beranggotakan lima hingga 12 orang. Untuk menuju ke lokasi objek wisata minat khusus arung jeram ini dengan mobil dari Kota Wonosobo dibutuhkan waktu sekitar 30-40 menit atau berjarak tempuh sepanjang 26 km.

Bagi wisatawan yang ingin berarung jeram, pengelola objek wisata ini telah menyediakan peralatan komplit dengan biaya Rp150 ribu hingga Rp200 ribu untuk wisatawan nusantara dan sekitar Rp350 ribu bagi wisatawan mancanegara. Biaya itu sudah termasuk sewa perahu karet, jaket pelampung, asuransi, jasa guide, dan konsumsi.

sumber: kapanlagi.com

Menari di Air Manna Menembus Jeram Perawan Lahat



Foto-foto Inge Renca Sianturi
Mirip – Bisa disimpulkan, karakteristik jeram Air Manna hampir mirip Sungai Asahan di Sumatera Utara. Arusnya cenderung agresif dan liar. Di musim hujan, bentukan sungainya bisa mencipta rangkaian standing waves panjang dan saling terhubung (atas).
Kembali ke alam, apa pun bentuknya, selalu menjadi momen paling menyenangkan. Alasan itu juga yang memacu saya untuk melawat ke Desa Tanjung Sakti, Kabupaten Lahat – Sumatera Selatan ini. Selama dua hari, saya dan beberapa rafters (pengarung jeram) coba menjajal ketangguhan jeram-jeram Sungai Air Manna yang bercokol di kelebatan rimba.

Seperti wilayah pinggiran Sumatera lainnya, empat jam perjalanan Lahat – Tanjung Sakti itu penuh kelokan tajam. Sesekali, terlihat jurang menganga. Tapi di lain waktu, tampak kuning padi meliuk-liuk di antara nuansa hijau belantara raya dan hamparan perkebunan kopi yang lama-kelamaan semakin mendominasi pemandangan.
Setibanya di Tanjung Sakti, kami langsung bersua dengan Erwin Gumay, penggiat alam bebas dari Lahat. Kedatangan kami juga disambut senyum ramah penduduk setempat yang menyongsong di muka dusun. Bahkan, Drs. Lukman Panggarbesi, camat desa itu berada di antara mereka. Uniknya, ia sendiri pun rela bergabung dan siap memandu kami melakukan survei jeram siang hari itu juga.
Sebagai aktivitas pra-pengarungan, kegiatan pertama itu hanya berkutat pada penelusuran data-data sungai. Mulai dari pencarian entry point, menandai bentukan dan tingkat kesulitan jeramnya, hingga ke soal penentuan jalur bagi tim darat yang akan mengiringi selama pengarungan.
Tentu, bukan perkara enteng melakukan hal itu. Memburu entry point yang mudah kami jangkau dari tepi jalan setapak penduduk, misalnya. Terpaksa golok dan parang dikeluarkan demi menerabas kepungan hutan perawan nan lebat ini.
Herannya, sepanjang menyi-sir lembah penuh onak duri, tak tampak satu pun bekas tebangan liar. Yang pasti, sejauh pengamatan mata dan atas informasi penduduk setempat yang saya peroleh, hutan yang mengepung sungai ini masih sangat alami dan terjaga keasliannya. Dan tampaknya, baik penebang maupun para cukong kayu dari kota-kota besar masih ”silap mata” dengan kelestarian itu.
Terbukti, selama puluhan tahun, hujan lebat tak pernah menjadikan penduduk wilayah ini kerepotan dengan musibah banjir dan longsor. Bagi peminat arung jeram, tentu saja menguntungkan, sebab debit air sungai yang berhulu di Gunung Dempo (3.159 mdpl) ini tak pernah surut, kendati di musim kemarau seperti sekarang.

Hari Pertama
Sehari usai pendataan, ihwal kehebatan Air Manna total terbukti. Di hari pertama, kami membagi dua etape pengarungan. Etape pertama bermula dari dusun Sindang Panjang (desa Tanjung Sakti) hingga dusun Gunung Kerto. Etape selanjutnya berlangsung di antara jeram-jeram dusun Gunung Kerto dan berakhir di dusun Simpur. Total 19 kilometer yang akan ditempuh hari ini.
Bara semangat kepalang berkobar di dada, pantang untuk mundur. Apalagi, saya, Dompi, Jack, Erwin Gumay dan rekannya, Andi, sudah bersiap dalam posisi mendayung. Maka, selepas doa bersama, dayung pun dikayuh. ”Majuu...!” aba-aba Jack.
Belum jauh jarak perahu dari tepi sungai. Mendadak, kesialan menimpa. Saat perahu melabrak jeram pertama, benda karet itu berguncang hebat. Sialnya, pijakan kaki saya kurang mantap, alhasil, tubuh saya limbung seketika dan terlempar dari perahu.
Untunglah, di antara derasnya gelombang standing waves (jeram berbentuk ombak berdiri) tersebut, Andi masih bisa meraih tangan saya. Sigap. Tapi selanjutnya, malah gantian dia yang bernasib serupa. Kendati selamat, pemuda kelahiran Lahat ini sempat dua kali timbul tenggelam dipermainkan buih-buih jeram.
Sampai menjelang akhir etape satu, kami belum merasakan rintangan yang berarti. Kecuali satu buah jeram besar berbentuk penurunan (drop) setinggi satu meter. Sesuai aba-aba Jack, perahu masuk perlahan ke mulut jeram itu. Tepat, begitu mulut jeramnya habis, kayuhan semakin diperkuat untuk menghindari hisapan arusnya ke tebing. Perahu lolos.
Pengarungan terasa makin seru, saat memasuki dusun Gunung Kerto. Aliran Air Manna menyatu dengan Air Suka Merindu. Akibatnya debit air menjadi lebih tinggi. Ini terbukti dengan standing wave yang dari jauh terlihat biasa saja, ternyata malah sebaliknya. Besar dan menyeramkan, membuat bentuk perahu seolah mengecil.
Selepas jeram itu, perahu menepi untuk rihat. Puas menjerang rihat, pengarungan kembali berlanjut. ”Siapkan konsentrasi penuh, kita tak tahu ada apa di depan,” komando Jack, seraya mulai mendayung. Betul saja. Satu lidah riam menyambut, berbuih dan sangat menantang. Terbentuk dari dua buah jeram hydraulic (terbentuk karena aliran vertikal). Demi memperoleh siasat untuk melaluinya dengan gemilang, kami melakukan scouting (pengintaian jeram) di tepi sungai berbatu. ”Kita ambil jalur kanan. Usahakan jangan sampai ada yang jatuh,” tukas skipper (juru kemudi) kami itu, lantang.
Kiranya, inilah saat paling tepat membentrokkan nyali dan rasa takut yang porsinya sudah tak jauh berbeda. Maka, perlahan dayung dikayuh, seiring aba-aba Jack mengarahkan perahu masuk ke dalam amukan jeram itu. Dalam hitungan detik, saya sulit mengingat apa-apa lagi. Yang ada, hanya berkonsentrasi penuh mendengar arahan skipper, sambil mendayung cepat laksana kemasukan setan.
Mendebarkan, memang. Apalagi, saat saya mengetahui, perahu kami gagal menghindari jalur kanan yang pertama. Karena perahu miring 45 derajat, Dompi dan Andi terlempar ke luar. Nyaris, Jack pun ikut terlempar dan dilalap air. Tapi dengan kesigapan tinggi ia bisa menghindarinya.
Di tengah situasi kacau balau, Erwin yang duduk di sebelah saya terjerembab ke bagian dalam perahu. Tak ayal, posisi perahu menjadi kurang seimbang, bisa terbalik. Terpaksa, agar itu tidak terjadi, saya mengimbangi berat perahu dengan berpindah posisi ke bagian kanan.

Hari Kedua
Memasuki hari kedua, tingkat kesulitan sedikit berkurang. Kendati begitu, pengarungan di sepanjang rute Dusun Simpur hingga desa Pulau Timun itu tetap berjalan seru dan menegangkan.
Kebanyakan jeram di 10 kilometer rute tersebut hanya berkisar pada standing waves. Kami pun banyak berjumpa patahan sungai yang tingginya bisa melebihi satu setengah meter atau lebih. Hanya Jeram Lubuk Sibayang, sebuah jeram yang sempat membuat otak kami lama berputar untuk menentukan jadi atau tidaknya diarungi.
Bentuk Lubuk Sibayang berupa patahan setinggi 1,5 meter. Tepat di depannya, sebuah batu besar sudah siap menghadang laju perahu. Jika stag di situ, risikonya bisa terbalik, Maka, bersiaplah diempas rangkaian standing waves yang jaraknya pun tak berjauhan dengan patahan tersebut.
Nasib baik, lagi-lagi, masih berpihak pada tim perahu. Perlahan dan penuh kewaspadaan mereka menyongsong lidah jeramnya. Dan, begitu melewati patahan itu, mereka lantas mendayung kuat, sehingga benda karet itu tak sampai tertahan di batu.
Menjelang petang, tim tiba perahu di lokasi finish dusun Pulau Timun. Saya, Armen, dan Ican yang menjadi tim darat, tercengang menyaksikan kerumunan penduduk. Tampaknya, mereka tak sabar lagi ingin menyaksikan ”pemandangan” tak lazim di dusun mereka yang terpencil itu.
Malamnya, dalam suasana keluarga desa nan damai di pelukan rimba belantara, kami menghabiskan waktu. Bercengkerama ihwal ketegangan-ketegangan yang kami alami selama dua hari ini. (m. lati

Arung Jeram Batang Langkup

Posted by handri on June 11th, 2008Oleh : Sulung Prasetyo

Pengantar Redaksi : Pertengahan Agustus, Mapala Universitas Indonesia (UI) bekerja sama dengan Sinar Harapan menggelar ekspedisi arung jeram menyusuri sebagian Batang (Sungai) Langkup, 120 km arah barat daya Ibu Kota Kabupaten Merangin, Bangko, Jambi, yang berlangsung 8 - 16 Agustus 2005. Berikut laporan wartawan SH dalam tiga seri.

JAMBI — Sungai Langkup berhulu di daerah Gunung Masurai. Badan sungai menjulur dingin dari ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, menuju barat laut dan membentuk muaranya di Kota Muko-muko, Bengkulu. Penelusuran menggunakan perahu karet dimulai dari anak Sungai Langkup, yang bernama Sungai Mantenang. Desa Pulau Tengah, yang berada di badan Sungai Mantenang, dipilih sebagai titik awal perjalanan. Terus menelusur ke arah barat, hingga menjumpai badan Batang Langkup. Perjalanan kemudian diteruskan dengan menelusuri Batang Langkup, yang terapit celah sempit Bukit Barisan. Ekspedisi dianggap selesai saat badan perahu menyentuh kitaran Desa Rantau Kermas, yang jauhnya 13,5 km.

Sinyal HP mulai meredup, saat ban-ban mobil angkutan melintasi celah pegunungan di barat Provinsi Jambi. Deretan pegunungan itu serupa benteng. Menjulur-julur, tinggi rendah, memberikan aroma Bukit Barisan yang terkenal itu. Berkelebat-kelebat panorama menghiasi mata. Sekejap tampak gunung Nillo membentang gagah di bagian kanan jalan. Dibarengi dengan angkuhnya Masurai, di bagian kiri. Bagai pintu gerbang saja layaknya, dua deret pegunungan di kiri kanan jalan ini. Hendro Bakti, koordinator perjalanan ini, masih saja terkagum-kagum dengan pemandangan yang disuguhkan. Padahal jalan aspal rusak yang dijalani, seperti tanpa batas di depan kami. Enam jam perjalanan yang ditempuh, tampaknya tak membuat lelah laki-laki yang masih kuliah di jurusan Fisika MIPA UI itu. Seringainya tetap menghias, meskipun telah terkatung-katung di bagian atap angkutan serupa minibus. Tugasnya yang berat, karena harus mensukseskan berjalannya ekspedisi ini, seperti hilang tanpa bekas. Berganti dengan derai decak kagum, seperti juga yang diungkapkan oleh Nana dan Rosyda, para perempuan yang juga tergoda naik ke atap mobil.

Mobil terus saja melewati gerbang gunung, menembus hutan, dan mengganti pemandangan dengan warna kemerahan. Usut punya usut, warna kemerahan yang menghiasi ujung-ujung pohon tinggi itu, ternyata deretan pucuk pepohonan kayu manis. Merah pucuk kayu manis itu, kemudian bergantian berselang-seling dengan perkebunan kentang dan kumpulan rumah yang tampak membeku.

Suhu udara memang sudah terasa dingin. Tak terbayang bagaimana kami di sungai nanti. Sebab di atas daratannya sudah serupa dengan dinginnya Puncak, Jawa Barat. Sekarang sebagian besar anggota tim ekspedisi menuju Desa Pulau Tengah, yang berada 120 km dari Kota Bangko. Menurut beberapa keterangan, hampir selama delapan jam kami harus menempuh perjalanan ke desa tersebut, yang berada di Kecamatan Jangkat.

Sebelumnya, hampir dua malam tim menempuh perjalanan dari Depok, Jawa Barat, menuju Bangko pada 6 Agustus. Tim pendahuluan telah berjalan dua hari sebelumnya. Membawa sebuah mobil yang berisi peralatan pengarungan, dan segala macam tetek bengek perlengkapan ekspedisi. Dan direncanakan bertemu di Desa Pulau Tengah, tanggal 8 Agustus, setelah selesai mengurus rupa-rupa perijinan. Rencananya akan ada tim terakhir yang menyusul tanggal 12 Agustus. Membawa sisa perlengkapan, yang mungkin belum sempat terbawa.

Hingga kisaran pukul 16.00, barulah ban mobil menembus Desa Pulau Tengah. Sekejap sempat kami tercengang, lantaran indahnya alam di hadapan kami. Sungai Mantenang tampak menjulur tenang, membelah lembah Desa Pulau Tengah. Dibatasi dengan persawahan, dengan warna hijau menghampar. Rumah-rumah penduduk tampak rapih berjejer di batas jalan.Ditingkahi dengan warna biru lazuardi langit yang menantang. Biru itu kemudian mengingatkan pada tujuan ekspedisi ini.

Sebuah percobaan pengarungan sungai dengan menggunakan perahu karet, yang hingga riset kami terakhir belum pernah ada yang mencoba sebelumnya di sungai tersebut. Perjalanan ini sudah selayaknya menjadi berharga dengan nilai-nilai itu. Karena berarti tim ini tak ubahnya bak para penjelajah baru. Yang serupa niat mulia dengan beberapa pendahulu mereka, pada perjalanan sebelumnya. Untuk mencari sebuah kemungkinan baru, dengan kemampuan yang dipunya.

Di copy dari mapalaui.info

Cerita dari Arung Jeram Cimanuk

Bagian paling menakutkan dari arung jeram itu cuma satu: Nagih pengen arung jeram lagi.

Mahanagari dan teman-teman diajak anak-anak Darkcrossers untuk nyicip jeram sungai Cimanuk di Garut hari Sabtu, 9 Februari kemarin. Start dari Bandung pukul 07.30 dan sudah sampai Bandung lagi pada pukul 7 malam.

Total ada 16 orang yang berangkat dari Bandung, 12 peserta. Emma, seorang Blogger sekaligus petani organik di Panaruban, Subang. Lalu ada Tessi, Nona Cimahi yang bekerja di Siemens Jakarta. Ada pula 2 fresh gradute Psikolog Unpad bernama Anwar dan Shinta. Berikutnya Alwi yang baru saja pulang penelitian dari Papua dan teman kampusnya yang rame, ribut, dan energik, Ella. Dewi dan Yusi adalah dua dosen UPI Bandung, masing-masing adalah dosen Bahasa jepang dan pendidikan Psikologi. Taufik, peserta yang termasuk sering tercebur ini adalah mahasiswa S2 ITB. Terakhir Lemet, bapak yang satu ini sudah langganan ikutan acaranya Manahagari. Dan tentu saja ada Benben dan Ulu dari Mahanagari. Tiga lainnya adalah tim dari Darkcrossers: Dodi, Isan, Mas Andi, dan Meydi. 16 orang ini terbagi dalam 3 mobil: Cherokee, Kijang, dan sedannya Taufik.

Sampai Cimanuk jam 10, setelah sebelumnya kita mampir dulu di pinggir jalan kota untuk mompa perahu. Jam 10.30 setelah briefing dan perkenalan, kita mulai nyemplung. Seorang dari kita mulai berkomentar “kok sungainya tenang gini ya” dan komentarnya berubah 180˚ setelah 1 jam berikutnya=D

Selama 2 jam pertama saya gabung dengan satu perahu jagoan, isinya tim Rescue semua. Belum lagi saya perempuan satu-satunya, yang lain bapak-bapak semua. Jadi kalo saya ngedayung itu buat sopan santun aja=D Karena ingin mencoba perahunya Dark Crossers yang kelihatan besar dan anggun, saya pindah ke perahu yang dipegang Ihsan, setelah sebelumnya diceburkan secara sengaja oleh Dodi. Begitu juga yang lain. Tercatat hari itu yang tidak tercebur adalah Tessi. Sisa 3 jam berikutnya saya mendayung dari perahu Avon, yang kata Dodi adalah Mercedesnya Perahu.

Grade sungai Cimanuk bisa sampai !V. jeramnya juga macam-macam jenisnya, mulai dari Jeram Vietnam sampai Jeram Tangga. Jeram yang bikin kita senyum-senyum biasa sampai ke yang teriak-teriak entah karena senang atau karena ketakutan. Kita juga termasuk sering ketemu edis (isitilahnya gini bener?). Arus balik, yang bikin perahu kita berputar balik dan bukannya maju terus ke depan.

Jeram Cimanuk lumayan seru & nantang.

Jeram-jeram cadas nan deras banyak kita lewatin meski gak sedikit pula jeram yang biasa saja. Selain itu, Cimanuk juga aktif bikin kita mendayung. Berbeda dengan sungai Palayangan yang relative sempit dan dangkal, bening bersih, dikelilingi hutan, perkebunan, dan gunung, serta tidak perlu susah payah mendayung karena tinggal sliding saja, Cimanuk justru sebaliknya. Dikelilingi oleh sawah-sawah dan tebing, sungai ini memiliki lebar (sekitar 7-8 meter) dan dalam (5-6 meter). Airnya khas sungai di Indonesia yang coklat keruh dan kotor. Setelah jeram biasanya kita akan ketemu dengan air yang tenang setenang orang bertapa. Makanya mendayung itu perlu. Pemandangan satwa sekitar sungai Cimanuk juga menarik. Sekali waktu kita bisa menemukan Biawak, Elang, dan bermacam burung yang imut dan cantik. Diantaranya seekor burung bernama Raja Udang.

Rute kita kemarin hanya 12-15 km dengan jarak tempuh hampir
5 jam. 2 jam pertama tujuan kita mendayung adalah untuk senang-senang, mencari nikmatnya goncangan akibat jeram. Dan jam-jam
berikutnya adalah jam senang-seneng sengsara nikmat. Karena tujuan kita hanya satu : Cibiuk Restaurant. Bahkan bekal coklat yang kebasahan sungai Cimanuk kita sikat habis.

pukul 14.30
Masih lapar dan coklat yang dibawa Dodi habis. Bisa disimp
ulkan bahwa dari sinilah saya tahu kalau Fatamorgana juga berlaku di sungai sekalipun. masing-masing personel perahu mulai bersahutan berpuisi:

Surawung mewangi
Nasi pulen bulat penuh memanggil-manggil.
Gurami dan Ayam tersenyum mesra
Menunggu untuk dikunyah
Sambal cantik melambai-lambai dari sudut piring
Cibiuk oh Cibiuk…

Semakin lama wajah kami yang segar bugar menjadi sedikit layu dan kucel walau masih penuh pesona. Posisi duduk mulai berpindah-pindah. Yang didepan mundur ke belakang, kiri ke kanan. Dan semua masih harus mendayung. Terus mendayung.

Dan tercatat pula beberapa orang jatuh secara tidak sengaja. Dodi,
Taufik, dan Ulu. Saya jatuh gara-gara telat ngangkat kaki masuk ke perahu dan gara-gara perahu keburu nyenggol batu, badan gak seimbang dan byur ! panik, sangat luar biasa panik. Karena saya gak bis
a berenang. Saya gak bisa memijakkan kaki (sungai ini dalamnya 5-6 meter). Panik yang akibatnya malah bikin makin semangat mendayung dan berjanji untuk tidak jatuh lagi ke sungai=D berbeda jauh dengan Dodi yang kecemplung pas di Jeramnya. Dia luar biasa tenang. Sungguh mengagumkan.

Jembatan Leuwi Goong adalah spot finish rute rafting. Waktu menunjukkan pukul
15.30an. dan arung jeram pun selesai.

Langsung menuju Cibiuk. Semua bersorak sorai. Ayam, Tempe, Tahu, Kerupuk, serta Lalap dan Sambal khas Cibiuk yang dinanti-nanti sudah menunggu. Yeah!

Makan di Saung dengan latar belakang Gunung Haruman dan angin sepoi-sepoi rasanya peacefull sekali. Didiringi derai canda dan tertawaan cerita after rafting. Saking capeknya, Taufik sampai sempat-sempatnya tertidur manis.

Terkadang pegal-pegal, kepanasan, kehujanan, memar-memar, dan basah tercebur di air kotor itu keren. Apalagi kalau rame-rame.

A moment you don’t want to forget.

Ok. Thanks everyone.

dicopy dari mahanagari.multiply.com

Arung Jeram Sungai Pekalen, Terpanjang di Indonesia

Para penggemar petualangan arung jeram kini bisa menikmati petualangan menyusuri sungai lebih lama lagi. Pasalnya, di Sungai Pekalen, Probolinggo, Jawa Timur, kini telah dibuka jalur arung jeram terpanjang di Indonesia, lengkap dengan pemandangan alam yang menakjubkan.

Namun, untuk mencapai kawasan tersebut Anda harus menempuh perjalanan dari basecamp menuju start point dengan menggunakan mobil angkutan dan harus berjalan kaki sejauh hampir tiga kilometer. Setelah itu, silakan pacu adrenalin Anda dengan berarung jeram sepanjang 29 kilometer selama hampir sembilan jam menyusuri sungai.

Banyaknya tantangan ditemani dengan suguhan pemandangan sekitar nan eksotis. Di antaranya melewati guyuran lima air terjun dan juga ribuan kelelawar yang berada di sela-sela tebing. Tak hanya itu, menikmati loncat indah dari tebing berketinggian tujuh meter dari permukaan air sungai bisa menjadi alternatif berpetualang.

Sungai Pekalen Atas ini masih sama terletak di desa Ranu Gedang, kecamatan Tiris, kabupaten Probolinggi, propinsi Jawa Timur. Dinamakan desa Ranu Gedang, karena di desa ini banyak terdapat pohon pisang (dalam bahasa jawa pisang disebut Gedang). Pekalen Atas memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi untuk berarung jeram dibandingkan dengan Pekalen Bawah. Bersumber dari mata air Gunung Argopuro dan Gunung Lamongan dengan lebar sungai rata-rata 5-20 meter dan kedalaman air kurang lebih 1-3 meter.

Jarak pengarungan dari Start-Finish kurang lebih 12 kilometer yang ditempuh selama 3,5 jam. Jumlah jeram sekitar 50 buah seperti Welcome, Batu Jenggot, Pandawa, Rajawali, Xtravaganza, KPLA, Tripple Ace, The Fly Matador, Hiu, Cucak Rowo, Long Rapid, Good Bye. Ada pula Jeram Inul, disebut demikian karena untuk melewati jeram itu, setiap peserta harus "bergoyang bak Inul". Tingkat kesulitan arung jeram disini yaitu grade II sampai III+.

Untuk menemukan lokasi basecamp dari Noars tidaklah begitu sulit karena dari jalan raya Probolinggo tinggal melihat papan petunjuk besar yang terletak di pinggir jalan. Dari jalan raya ini harus menempuh jarak sekitar 15 km untuk sampai ke basecamp. Sayangnya kondisi jalan menuju kesana tidak begitu bagus, sehingga mau tidak mau memaksa para pengunjung terlebih dahulu harus berarung jeram melawati jalan akses yang berlubang-lubang. Perjalanan dari jalan raya sampai ke basecamp Noars ini memakan waktu sekitar 1 jam.

Tiba di basecamp, peserta akan dipersilahkan dulu beristirahat sejenak sambil disuguhi makanan kecil berupa pisang rebus dan minuman yang dinamakan Poka, yang terbuat dari teh dicampur jahe, keningar dan kayu manis. Diberi kesempatan juga untuk berganti pakaian dengan pakaian yang memang siap untuk basah karena pasti akan terciprat derasnya air sungai. Para penikmat wisata arung jeram dilengkapi pelindung keselamatan seperti helm dan jaket pelampung, serta dipandu oleh seorang guide yang telah terlatih dan berpengalaman. Perahu karet yang dipakai adalah jenis inflatable raft yang memang diperuntukkan untuk melewati jeram dengan aman karena berisi udara yang dapat meredam benturan antara badan perahu dengan bebatuan jeram.

Start point dari arung jeram ini berada di dusun Angin-angin, Desa Ranu Gedang. Di tengah-tengah perjalanan akan berhenti di Rest Area Kedung Adem-adem dimana peserta sekali lagi akan dijamu dengan minuman Poka, STMJ dan sajian pisang goreng. Sungguh pas dinikmati di tengah dinginnya deburan air sungai Pekalen. Finish point-nya terletak di Dusun Gembleng, Desa Pesawahan.Selama perjalanan peserta akan disuguhi indahnya 7 air terjun (diantaranya bernama Air Terjun Angin-angin), goa-goa kelelawar dan struktur batuan alami. Sungguh menakjubkan air terjun yang ada disana.

Masih begitu alami dan airnya masih begitu jernih dan segar. apalagi oleh guide-nya, peserta sengaja diberhentikan tepat di bawah derasnya guyuran air terjun. Dijamin semua peserta akan langsung dapat merasakan segar dan derasnya guyuran air terjunnya. Goa kelelawarnya pun masih begitu lengkap dengan ratusan kelelawar yang sekali-kali memekik dan beterbangan kesana-kemari. Bau anyir dari kelelawar dan kotorannya begitu terasa ketika melewati sana. Terdapat pula tempat untuk terjun bebas dari ketinggian sekitar 5 meter. Tempat yang pas untuk melepaskan ketegangan.

Sumber : Mapala UPN Jogjakarta.

Sudah Pernah Nyoba Arung Jeram di Citarik-Sukabumi

arung jeram di sungai citarik


Arung Jeram atau white water rafting bukan lagi sekadar hobi. Olahraga menyerempet bahaya ini sudah menjadi bagian dari gaya hidup sebagian masyarakat modern. Terutama para eksekutif muda yang bosan dengan rutinitas pekerjaan.

Peluang bisnis kengerian yang bercampur kegembiraan mengarungi riam ganas pun sudah menjadi jualan beberapa operator arung jeram.

Sekelas aktor Adjie Massaid dan Harry Mukti yang sekarang menjadi dai sudah pernah menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari kegiatan bersahabat dengan keganasan alam ini. Bahkan menurut cerita-cerita sih, kabarnya, dari aktor Adjie dan penyanyi Harry Mukti boleh dikatakan menjadi pelopor olahraga yang akhirnya dikemas untuk orang awam.

Arung jeram juga cukup efektif membangun semangat team work. Mendayung bersama, mematuhi perintah kapten untuk pindah kiri atau kanan lebih lebih banyak manfaatnya dari sekadar in house training.

Satu perahu biasanya diisi dengan satu pemandu dengan duduk dibelakang, dan setiap penumpang dianggap sebagai pengarung jeram. Aba-aba pemandu harus dipatuhi bila tidak ingin petualangan dihiasi acara kecebur sungai Citarik.

Sungai Citarik, di Kecamatan Cikidang, Sukabumi, Jawa Barat, hanyalah salah satu lokasi yang dapat dijajal. Selain airnya relatif lebih jernih, jeramnya juga tidak terlalu berbahaya untuk pemula atau bahkan bagi yang tidak pandai berenang sekalipun.

Buat yang belum pernah berarung jeram pada siang hari, perasaan takut dan was-was tentu semakin besar. Namun, buat yang sudah mencoba, tantangan siang hari akan semakin kecil. Makanya, operator arung jeram harus mencari terobosan baru secara berkala agar acaranya tidak ditinggalkan penggemar.

Saya pun sempat mencicipi ber-arung jeram bersama teman-teman dengan pemandu dari Selaras Outbound. Wuih…dada ini dag..dig..dug…plaszszszszszsssss…jantungan bagi yang punya jantung lemah….Ayo..coba dan kamu pasti bisa.


::: Foto diambil pada bulan Juni tahun 2005 lalu. posisi belakang dari Selaras Outbound, Zaenal, Ari (belakang), Sulthon, Syamsul Ardhi (depan)

dicopy dari Cepy's site

Arung Jeram Ciberang, Banten

Mengarungi nadi tanah Banten di Sungai Ciberang

Tidak banyak pilihan untuk berarung jeram di propinsi Banten, apa lagi untuk sungai yang terdapat jasa operatornya yang dapat ditemui didekat lokasi pengarungan. Sampai saat ini sungai yang memenuhi kriteria tersebut hanyalah sungai Ciberang. Tetapi bukan berarti keterbatasan pilihan tersebut, sungai Ciberang dapat dihilangkan dalam rencana liburan anda.
Sungai Ciberang mengalir deras dari gunung Halimun hingga membelah kota Rangkas Bitung, section yang disediakan untuk diarungi hanyalah dari kampung Muara, Desa Banjar Sari, Kecamatan Lebak gedong, Kabupaten Banten. hingga Leui Bujal yang kurang lebih 12 km atau sekitar tiga jam pengarungan.
Pada kampung Muara tempat titik start pengarungan, dapat ditemui sebuah giant baner dengan gambar gubernur banten serta ketua FAJI ( Federasi Arung Jeram Indonesia ) banten dengan amat jelas, dillengkapi dengan beberapa gambar arung jeram pada sungai tersebut. Dengan Tulisan besar ” Arung Jeram sebagai sarana olah raga, wisata dan kemanusiaan ” Apapun artinya tulisan tersebut setidaknya giant bener tersebut dapat membantu menunjukan para pengunjung sungai Ciberang untuk datang.
Hamparan tanah kosong dengan sejumlah saung dari bambu yang sebagian diperuntukan sebagai kamar mandi dan sebagian lagi diperuntukan sebagai tempat beristirahat para pengguna jasa operator arung jeram sebelum maupun sesudah pengarungan. Mengingat umurnya yang masih muda, mungkin dapat dimaklumi jika fasilitas yang disediakan tidak bisa disamakan dengan fasilitas operator arung jeram di Bali maupun di Jawa Barat yang telah jauh lebih dulu berdiri. Seperti Citarik ataupun Cicatih.
Walaupun demikian, bentangan alam. kebudayaan masyarakat serta jeram-jeram yang ditawarkan tidak kalah seru dengan yang terdapat pada sungai-sungai yang telah jauh lebih dulu dijadikan ajang berarung jeram dengan segala kelengkapan fasilitasnya.
Berdasarkan karakter jeramnya, sungai tersebut termasuk tipe sungai dengan jeram yang Continues, terbentuk oleh karena gradiasi sungai yang membuat para pengarungnya seolah tak henti-hentinya ditawarkan jeram-jeram yang menantang.
Untuk sebuah wisata petualangan sungai dengan tipe tersebut sangatlah cocok untuk di coba, sepanjang pengarungan sejak titik start di kampung Muara hingga bendungan pertama. Tak henti-hentinya perahu terombang-ambing dihajar jeram, tidak ketinggalan pula cipratan ombak yang tertabrak perahu membuat pengarungan terasa lebih menyenangkan. Mengingat cuaca siang yang cukup menyengat, setidaknya cipratan tersebut dapat menimbukan kesegaran tersendiri.
Jika sungai Ciberang sedang memiliki debit tinggi, maka airnya akan cenderung lebih coklat, namun pada debit dibawah normal maka warna airnya akan cenderung lebih terang. Pada debit air tertentu, para pengarung jeram akan ditawarkan untuk melewati sebuah bendungan setinggi sekitar dua meter, pada debit tertentu bendungan tersebut terpaksa harus direlakan tidak untuk dilewati. Oleh karena Hole ( pusaran air vertical ) yang tercipta diujung bendungan sanggup menahan siapapun yang terjatuh didalamnya , berputar-putar dibawah permukaan air sehingga dapat berpotensi menahan seseorang hingga kehabisan nafas.
Selepas bendungan pertama tingkat kesulitan jerampun meninggi, karakter jeram panajang yang membutuhkan manuver presisi akan sangat menggoda untuk dicoba. Adalah jeram Zig-zag yang telah menunggu para pengarung jeram setelah mereka berhasil melewati bendungan pertama. Batu-batu besar yang tersusun membentuk jeram yang serupa dengan labirin. Akan menjadi kepuasan tersendiri ketika dapat melewati jeram tersebut dengan sempurna, bukti dari kekompakan kerja sama antara awak dengan sang kapten kapal.
Jeram-jeram dengan karakter demikian akan terus ditawarkan Ciberang kepada para pengarungnya hingga pengarungan mencapai bendungan berikutnya. Kali ini bendungan yang ditawarkan lebih vertikal dan lebih tinggi dibandingkan bendungan sebelumnya. Sama seperti bendungan sebelumnya, operator akan mengijinkan para penagrungnya hingga debit air tertentu, oleh karena alasan yang sama.
Selepas bendungan, karakter jeram akan berbeda, kembali seperti semula, jeram-jeram yang tawarkan cenderung lebih aman dengan ombak yang kerap kali membasahi para pengarung jeram. Tak henti-hentinya perahu terombang ambing dihajar ombak.
Tantangan berikutnya yang ditawarkan sungai Ciberang adalah ketika para pengarung dihadapkan oleh sebuah jeram yang menyerupai air terjun setinggi sekitar dua setengah meter, tepat sebelum finish poin pengarungan. Sebuah jeram yang bernama “ Sea “, atau Jeram Sea. Umumnya tidak semua awak akan diijinkan untuk melewati jeram tersebut, hanya sang kapten kapal maupun beberapa orang yang bersedia menerima jika konsekuensi terburuk terjadi, yaitu tersedot Hole.
Untuk urusan banjir bandang sungai Ciberang termasuk salah satu yang tidak perlu dikhawatirkan. Menurut salah seorang guide arung jeram lokal,meningkatnya debit air pada sungai tersebut terjadi dalam proses yang cukup lama. Sehingga para pengarung jeram yang kebetulan sedang berada disungai dapat dengan mudah menyadarinya, dan segera mengambil tindakan antisipatif. Letak gunung Halimun yang merupakan hulu sungaipun dapat terlihat dengan jelas, sehingga jika terjadi hujan deras atapun badai pada wilayah tersebut yang dapat menyebabkan naiknya debit air, para pengarung jeram dapat segera mengetahuinya.
Untuk urusan emergency exit , pada sungai Ciberang hal tersebut bukanlah suatu hal yang mengkhawatirkan. Oleh karena pada dasarnya sungai tersebut dapat dikatakan berdampingan dengan jalan raya Rangkas bitung- Citorek, sehingga jika terjadi sesuatu yang mengharuskan seseorang dievakuasi ke rumah sakit bukanlah suatu hal yang sulit dilakukan.
Jika bermain arung jeram terasa belum dapat mengenyahkan rasa kebosanan terhadap rutinitas sehari-hari, perjalanan dapat dilanjutkan menuju pemandian air panas Tirta lebak dengan harga yang sangat terjangkau. Selepas terombang ambing dihajar jeram menghindari batu, tampaknya mandi air panas akan membuat liburan akhir minggu anda makin sempurna.
Didekat titik start pengarungan di sekitar kawasan arung jeram juga terdapat alternatif wisata lain, mulai dari wisata arkeologis Lebak Kosala hingga Lebak Cibedug ( Punden berundak ) atau bertreking ria di gunung Halimun, Kendeng, Ndut, maupun gunung Botol. Beberapa komunitas sepedapun tak ketinggalan memilih kawasan tersebut sebagai salah satu arena bermain mereka.
Hanya ada dua operator di sungai Ciberang yang dapat memfasilitasi anda untuk melakukan pengarungan, dan umurnyapun dapat dikatakan masih muda. Sehingga jumlah orang yang pernah mengalami pengarungan di sungai tersebut dapat dikatakan terbatas. Belum tentu teman-teman anda yang juga mempunyai hobi bertualang pernah merasakan serunya jeram-jeram di sungai Ciberang, maka tidak ada salahnya jika anda menjadi orang yang pertama untuk merasakanya. Bukan begitu ?

Nurmulia Rekso P.
Anggota Mapala UI

Sungai Manna Surga Petualang Arung Jeram

Arung Jeram Di Sungai Manna

Bila berminat berwisata, sekaligus olahraga dan bertualang, olahraga arung jeram beberapa sungai di Sumatera Selatan, menawarkan itu. Kondisi geografis wilayah sebelah barat Sumatera Selatan yang berbatasan dengan Bukit Barisan, menjadi “surga” bagi penggemar dan yang suka dengan tantangan dan pengalaman baru.

Sejumlah anak sungai yang berarus deras dan berjeram (white water) tersebar di berbagai lokasi. Baru-baru ini, tim mahasiswa pencinta alam Wigwam (Fakultas Hukum Unsri), mengarungi jeram di hulu Sungai Manna (sebelah Tenggara Gunung Dempo). Sungai Manna yang membelah bagian Selatan Provinsi Bengkulu bagian hulunya berada di wilayah Sumsel.

Lokasi start di kota Kecamatan Tanjungsakti (Lahat) berada di Bukit Barisan, biasa digunakan penggemar olahraga arung jeram. Dari awal, sungai ini memiliki tingkat kesulitan bervariatif. Memang lokasi ini pun ditawarkan untuk paket wisata, namun grade (tingkat kesulitan), tentu membutuhkan pemandu (guide) yang berpengalaman. Lokasi biasanya diu pilih, karena menjadi titik terdekat untuk turun ke sungai. Dari sini, sungai cukup lebar dan arus yang yang terdengar bergemuruh. Arus deras yang ditawarkan di bagian ini, rasanya sudah cukup meningkatkan pacuan adrenalin tubuh.

Tonjolan batu membentuk aliran air dan menimbulkan, memerlukan tenaga ekstra untuk melewatinya. Ayunan ombak di sini, masih bisa disaksikan penduduk desa. Hanya dalam hitungan detik, tak waktu berleha-leha, di ujung alur sungai membentuk pelataran arus yang relatif tenang, memberikan kesempatan untuk menarik napas dan sedikit untuk beristirahat.

Keindahan alam, tebing di kiri-kanan sungai menawarkan keindahan alam hutan hujan tropis. Arus tenang ini, hanya 50 meter, di depan sudah menunggu jeram yang tak kalah mendebarkan. Tim seolah “dibangunkan” oleh skipper (juru mudi) untuk bersiap melalui jalur sempit. Di jalur sepanjang 15 kilometer yang ditempuh, setidaknya ada dua jeram yang membutuhkan konsentrasi tim secara penuh. Jeram yang membentuk patahan (hole) dan batuang padas pinggiran sungai, serta kelokan arus di ujung jeram yang membentuk cekunngan dan arus memutar.

Olahraga arung jeram memang belum begitu populer di wilayah ini. Penggemarnya baru sebatas kalangan penyuka (outdoor). Aktifitas ini masih dikategorikan olahraga berisiko tinggi, bila prosedur standar dan tingkat kemampuan (skill) tidak diperhatikan. Termasuk jeram Sungai Manna, dengan kategori kesulitan maksimal grade-IV. Sehingga tidak aneh jika perkembangannya tidak begitu populer, selain lokasinya relatif membutuhkan waktu cukup lama.

Lokasi arung jeram Sungai Manna ini, misalnya, kalah populer di kalangan penggemarnya dibandingkan lokasi arung jeram yang sudah dijadikan kawasan wisata di Pulau Jawa. Juga tak sepopuler Sungai Alas (di utara Sumatera) atau bahkan Memberamo di Papua, yang telah mendunia.

Lokasi start awal Jeram Manna yang berada di wilayah Kabupaten Lahat, titik awal ini terletak sekitar 40 kilometer dari Kota Pagaralam. Peralatan pun relatif mudah didapat, ada operator penyelenggara termasuk pemandu, yang berdomisili di Pagaralam. Olahraga ini relatif baru dikenalkan kepada masyarakat Sumsel, walaupun sudah ada wadah organisasinya FAJI (Federasi Arung Jeram Indonesia) 1997 lalu.

Potensi ini pula yang ditawarkan pengelola pariwisata daerah itu. Selain, lokasi arung jeram Sungai Lematang, terutama ruas Pelangkenidai-Lematang Indah (air terjun). “Untuk petualangan, jalur Lematang Indah (Pagaralam)-Endikat, belum banyak dilalui. Jeram-jeram dan alamnya ‘luar biasa’,” kata Ketua FAJI Sumsel, Koesmiran SH, operator Permata Jeram.

Bila jalur ini kurang terjamah, justeru jalur Endikat-Lahat, relatif sudah lebih dulu dikenal kalangan penggemar arung jeram. “Lumayan bagus, risikonya mungkin lebih rendah. Pengarungan sekitar empat jam,” ujar Anca dari Wigwam.

Lahat dan Pagaralam sudah menawarkan lokasi arung jeram untuk wisata. Sungai Enim (Muaraenim), dari Begedung (Semendo) akhir tahun 2005 menyelenggarakan kejuaraan nasional pengarungan jeram (down-river). Sungai Rawasulu (Musirawas) dijadikan lokasi wisata. Sungai Selabung dan Saka (Muaradua, OKU Selatan), dua sungai ini belum banyak dijamah kalangan pengarung jeram. Inilah lokasi-lokasi arung jeram yang menantang untuk dijelajahi kalangan petualang dan wisata. (rn)

copy by resep.web.id

Mengejar Mimpi Di Sungai Asahan


Arung Jeram Sungai Asahan


Setelah Sungai Zambesi di Afrika dan Sungai Colorado di Amerika Serikat, peringkat ketiga jeram terbaik di dunia ditempati Sungai Asahan di Sumatera Utara. Tingkat kesulitan, tantangan, dan keindahan alam yang masih liar menjadi daya tarik tersendiri bagi para petualang dan penggemar kegiatan luar ruangan.


Di sungai itulah para pengarung jeram menjajal kemampuan mereka. Di situ pula mereka membuktikan diri sebagai pengarung sejati.

Beberapa waktu yang lalu, 12 tim dari berbagai kota di Indonesia berlaga dalam Kejuaraan Nasional Arung Jeram 2006 di Desa Tangga, Kecamatan Bandar Pulau, Kabupaten Asahan, tersebut. Tim NOARS dari Jawa Timur yang keluar sebagai pemenang mengakui, jeram Sungai Asahan merupakan obsesi para pengarung jeram di Indonesia maupun dunia. "Tidak salah jika Sungai Asahan dikatakan sebagai jeram terbaik di Indonesia. Arusnya dahsyat. Benar-benar menantang," kata Dwi NA, dari NOARS.

Binar matanya memancarkan kepuasan. Ini merupakan pengalaman pertama timnya mengarungi jeram Sungai Asahan. Jauh-jauh datang dari Surabaya, Jawa Timur, mereka memang bertekad mewujudkan mimpi menjadi yang terbaik saat berlaga di daerah itu.

Sirene

Sungai Asahan berhulu di Danau Toba dan bermuara di Tanjung Balai. Temperatur air sungai itu 21-24 derajat Celsius. Kecepatan airnya mencapai 120 meter kubik per detik, dengan kedalaman rata-rata 5 meter. Debit air itu bisa diatur melalui pintu bendungan Sigura-gura. Pengaturan debit air itu menjamin keamanan penduduk yang tinggal di desa-desa di bawahnya.

Jika air dari bendungan akan dilepaskan, petugas di bendungan akan memberikan sinyal berupa sirene yang dipasang di beberapa titik di tepi sungai. Sirene itu terdengar hingga ke desa sehingga penduduk bisa waspada terhadap tambahan debit air yang besar.

Selain jeram yang terkenal ke berbagai penjuru dunia, alam sekitar Sungai Asahan pun menawarkan keindahan hutan tropis. Pohon-pohon tinggi menjulang dan sejauh mata memandang hanya hijau alam yang tampak. Beragam satwa liar, seperti harimau sumatera, kambing hutan, burung rangkong, dan siamang, pun masih cukup mudah ditemukan di hutan itu.

Dinding-dinding tebing yang menjulang setinggi lebih dari 200 meter di atas lembah Sungai Asahan dihiasi sejumlah air terjun. Tidak sekadar sebagai hiasan, dinding itu juga memungkinkan dijadikan arena panjat tebing.

Satu hal yang juga menarik adalah banyaknya batu-batu tua dan besar di kawasan tersebut. Batu-batu itu diperkirakan merupakan sisa ledakan vulkanis yang juga menyebabkan pembentukan Danau Toba pada puluhan juta tahun silam.

Menurut Ketua Harian Pengurus Daerah Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI) Sumatera Utara Yohannes Sembiring, Sungai Asahan memiliki tingkat kesulitan (grade) 4-5+ dari skala 1-6. Para pengarung jeram dari luar negeri banyak datang ke lokasi itu untuk membuktikan tingkat kesulitan tersebut.

"Kami menyelenggarakan tiga kali kejuaraan arung jeram internasional di Sungai Asahan, yakni pada tahun 2000, 2001, dan 2003. Para peserta berasal dari Selandia Baru, Kanada, Perancis, Italia, Thailand, Australia, Polandia, Amerika Serikat, dan Inggris. Hampir semua peserta yang rata-rata adalah pengarung jeram kelas dunia mengakui, Sungai Asahan sangat luar biasa," kata Yohannes memuji daerah wisata itu.

Untuk kegiatan arung jeram, alur Sungai Asahan bisa diarungi sepanjang 22 kilometer dari Desa Tangga ke arah hilir di Bandar Pulau. Jalur arung jeram tersebut dibagi menjadi empat macam jalur.

Pertama, disebut Never-Ever-Ends yang berawal dari dekat pintu Bendungan Sigura-gura, sejauh 3,5 kilometer (km) sampai Jembatan Parhitean yang merupakan jembatan peninggalan masa kolonial Belanda.

Dinamai never-ever-ends karena jeram di jalur tersebut seolah tidak terputus, dengan tingkat kesulitan 4-5, yang bahkan tidak memberi kesempatan menghela napas. Hanya pengarung jeram berpengalaman yang mungkin melalui jalur kawasan ini.

Jalur kedua adalah Hula-Huli Run. Jalur sepanjang 2,5 km ini bermula dari Jembatan Parhitean dan berakhir di Desa Hula-Huli. Tingkat kesulitan jeram 3-4. Ada banyak jeram dan lubang patahan sungai di sini, tetapi masih tergolong mudah dilewati.

Selanjutnya, jalur Middle Section dengan jeram-jeram yang juga dianggap sulit dilalui. Bahkan ada jeram yang disebut Nightmare (mimpi buruk), yang tingkat kesulitannya mencapai 5+. Pengarung jeram berpengalaman sekalipun harus berpikir ulang saat melewati jeram ini.

Jalur terakhir, Halim Run, tergolong paling aman dan mudah. Jalur ini juga merupakan jalur wisata arung jeram. Pengarungan untuk jalur ini bisa berlangsung selama 3,5 jam dengan pemandangan tebing-tebing sungai. Arus yang tenang memungkinkan pengarung jeram menikmati pemandangan di sekitarnya. Perjalanan berakhir di Bandar Pulau.

"Selain untuk melatih atlet-atlet arung jeram, Sungai Asahan sangat memungkinkan untuk pengembangan ekowisata dengan dukungan kegiatan luar ruangan lainnya," kata Yohannes lagi.

Baru dikenal

Kepala Desa Tangga Rudin Panjaitan menuturkan, arung jeram di Sungai Asahan marak setelah diselenggarakan kejuaraan internasional pada tahun 2000. Sebelumnya, hanya beberapa turis asing yang datang dan mengarungi sungai itu. "Biasanya mereka membawa pemandu dari luar. Warga desa belum banyak mengenal arung jeram seperti itu," katanya.

Saat ini, lanjut Panjaitan, sudah banyak warga desa terutama anak-anak muda yang mulai belajar arung jeram. Harapannya, mereka bisa menjadi pemandu para peminat arung jeram.

Sayangnya, karena belum dipersiapkan sebagai tempat tujuan wisata, di sana belum bisa ditemukan tempat-tempat peristirahatan atau pondok-pondok wisata untuk menginap. Biasanya, mereka yang datang untuk berarung jeram menginap di rumah warga desa.

Lokasi arung jeram itu bisa melalui dua jalur. Dari Medan, pengunjung bisa menuju Kisaran, ibu kota Kabupaten Asahan, dengan kereta api atau kendaraan umum melalui jalan lintas timur Sumatera selama tiga jam. Dari Kisaran bisa naik kendaraan umum ke Bandar Pulau, dilanjutkan dengan menggunakan angkutan pedesaan ke Tangga atau Parhitean. Jarak dari Kisaran sekitar 90 kilometer, tetapi kondisi jalan banyak yang rusak sehingga memakan waktu lebih dari 3,5 jam.

Jalur kedua, dari Medan ke Porsea di Kabupaten Toba Samosir melalui jalan lintas tengah Sumatera. Pengunjung bisa melihat Danau Toba dari dekat jika melalui jalur ini. Jaraknya sekitar 200 kilometer. Meski demikian, jarak itu bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan pribadi atau angkutan umum selama 4-5 jam. Dari Porsea, pengguna kendaraan umum bisa melanjutkan perjalanan dengan angkutan desa, yakni ke Desa Tangga atau Parhitean sejauh 35 kilometer selama lebih kurang 1,5 jam.

Meski perjalanan tergolong panjang, segala kelelahan biasanya terobati setelah melihat keelokan jeram Sungai Asahan. Selain itu, kesegaran alam pedesaan dan keramahan warga membuat pengunjung bak berpetualang ke dunia lain, yang jauh dari hiruk-pikuk suasana kota. Bagi pencinta arung jeram, tampaknya inilah tempat mengejar mimpi dan obsesi untuk menjadi pengarung jeram kelas dunia.


Sumber: Kompas

Arung Jeram di Sungai Wampu

arung jeram di sungai Wampu

Langkat – Arung jeram kini sudah tidak lagi menakutkan. Pelakunya pun tidak lagi sebatas pada pegiat alam bebas seperti ketika olahraga ini masuk ke Tanah Air pada era 1970-an, atau ketika mulai digeluti secara profesional di Indonesia sejak tahun 1980. Kegiatan berbahaya berperingkat dua setelah terjun payung ini mulai berkesan ramah dan dikenal luas sebagai pilihan wisata mengasyikkan.

Di Sumatera Utara (Sumut) perkembangannya juga menggembirakan. Walau penggemarnya masih tidak sebanyak seperti di Sungai Citarik yang mencapai ribuan setiap tahun. Sementara ini hanya tiga sungai di Sumut yang lazim dijadikan arena arung jeram, yaitu Sungai Asahan, Sungai Bingei dan Sungai Wampu.

Sungai Wampu merupakan sungai paling populer untuk arung jeram di provinsi ini. Sungai tersebut mengalir melintasi dua kabupaten, yaitu Karo dan Langkat sepanjang lebih dari 140 kilometer. Hulunya berada pada dataran tinggi Karo dan bermuara di kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading, Langkat Timur Laut.
Pada kawasan tertentu masyarakat memberi nama yang berbeda-beda untuk Sungai Wampu. Masyarakat di Karo menyebutnya Lau Biang, lalu ada yang menyebut Lau Tuala. Sedangkan untuk bagian hilir di Langkat dinamakan Wampu. Agak ke bagian muara, masyarakat menyebutnya dengan Ranto Panjang.
Jika melakukan arung jeram di Sungai Wampu, keletihan pertama akan dirasakan saat naik kendaraan menuju titik start di Desa Kaperas, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat, sekitar 87 kilometer dari Medan, Sumut. Letih karena kondisi jalan perkebunan yang tidak beraspal. Kondisi jalan yang buruk membuat perjalanan dari Medan memakan waktu empat jam. Praktis hampir dua jam perjalanan serasa naik kuda, padahal saya dengan rekan-rekan dari Rapid Plus, salah satu organizer arung jeram di Sumut, sudah menggunakan mobil jenis four wheel drive.
Pusing kepala karena jalan rusak maupun akibat kepala terbentur atap mobil langsung hilang begitu kami tiba di pusat Desa Kaperas. Mobil hanya bisa mengantar sampai di sini. Kami selanjutnya berjalan kaki menuju tepian sungai setelah masing-masing mendapatkan jatah dayung, helm dan pelampung. Sedangkan perahu dibawa dengan ojek.
Saat melewati jembatan gantung, derasnya air sungai sudah terlihat. Kenyamanan yang tak bisa disaksikan di kota besar, apalagi di sini tidak ada sinyal handphone. Benar-benar back to nature.

Sumber Air Panas
”Ingat kalau ada aba-aba maju dari skiper, semua dayung maju. Kiri, yang di sebelah kiri dayung kuat, yang kanan dayung mundur. Sebaliknya kalau ada aba-aba kanan, kanan dayung kuat, kiri dayung mundur. Kalau stop, dayung dipegang dan letakkan di pangkuan. Jika terjatuh, upayakan badan mengapung telentang, dengan kaki mengarah ke hilir sungai, bukan kepala,” kata Joni Kurniawan. Mantan Ketua Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI) Sumut ini salah satu pimpinan Rapid Plus.
Begitulah. Kami pun mulai mencecah air. Setelah start langsung dihadapkan pada jeram grade satu. Ini merupakan tingkatan yang paling rendah dari lima tingkatan jeram. Aliran air hanya berombak kecil, tanpa rintangan, jadi tidak terlalu mengkhawatirkan. Jeram pertama itu menjadi semacam latihan awal bagaimana menjaga keseimbangan dan kekompakan.
Selepas jeram pertama, ada beberapa jeram dengan tingkatan serupa. Selanjutnya air tenang sekitar dua puluh meter. Namun harus hati-hati juga terhadap dahan-dahan pohon di pinggiran sungai. Kalau tidak awas, wajah bisa tersabet ranting.
Ketenangan sungai kami nikmati sambil membagi cerita gembira tentang jeram yang barusan dilintasi. Mata kami pun dimanjakan dengan eksotisme tebing-tebing setinggi 15 meter berwarna hitam kelabu yang mengapit sungai. Terik matahari tertutupi pohon-pohon hijau di puncak tebing. Terdengar juga cericit beragam jenis burung.
Sumber air belerang dengan kepulan uap panas kami jumpai setelah melewati tebing kokoh tadi. Hanya sekitar lima belas menit dari titik start. Hampir semua pengarung jeram memasukkan tungkai kaki ke dalam gelembungnya yang berada sekitar tujuh langkah dari tepian sungai sebelah kiri. Selain hangat, air belerang juga bisa menghilangkan penyakit gatal maupun eksim.
Pemandangan di sekitar air panas juga cukup menarik, ada pulau batu berwarna abu-abu agak di tepian sungai. Hampir semua peserta sepakat mengabadikan diri dengan kamera di pulau ini.

Membopong Perahu
Kegembiraan yang lebih seru diperoleh setelah lokasi air panas. Jeram-jeram silih berganti datang dengan jeda istirahat sekitar dua hingga lima menit. Melintasi jeram dengan grade dua hingga tiga, sangat menguras tenaga. Hempasan ombak masuk ke dalam perahu dan pada beberapa titik, jalur menyempit. Jika tidak kompak, alamat perahu akan terjungkal karena menabrak batu besar yang kerap juga melintang di tengah sungai atau terhempas menghantam dinding sungai.
Detik-detik menjelang masuk ke tengah jeram adalah masa paling menegangkan. Diiringi teriakan, ”Satu!! dua..!! tiga..!!, satu..!!..” semua siap dengan kayuhan terbaik. Memastikan perahu mengarah dengan tepat melewati jeram. Setiap kali masuk jeram, penumpang langsung mengambil posisi duduk agak ke tengah perahu agar tidak mudah terlempar dan perahu langgeng melewati jeram. Setelah itu berkumandang lagi teriakan keberhasilan.
Satu jeram yang agak sulit, ditemui sekitar satu jam setelah pengarungan. Tingkatannya mencapai tiga plus dengan panjang jeram sekitar 15 meter. Seorang rekan yang mendampingi saya di bagian depan perahu nyaris terlempar keluar. Untung pelampungnya sempat tergapai, kalau tidak alamat terseret arus. Namun tak urung pangkal dayungnya, mengenai penumpang wanita di belakangnya hingga menyisakan memar merah di pelipis kiri.
”Ini merupakan grade tertinggi di Sei Wampu. Banyak peserta yang meminta ulang untuk melintasi jeram ini karena menegangkan dan seru,” kata Joni Kurniawan mengomentari jeram tersebut. Kami juga mengulang lintasan di sana. Bersama membopong perahu yang rasanya jadi begitu berat setelah letih mendayung. Apalagi batu-batuan sungai cukup pejal dan merepotkan. Keletihan membopong perahu berganti teriakan gembira ketika berhasil melintasi jeram dengan lebih baik. (khairul ikhwan d)

Arung Jeram di Jembatan akar


arung jeram

Wow,suatu pesona yang tidak akan terlupakan jika kita menikmati kuatnya arus sungai batang bayang di atas perahu karet melintasi tempat wisata yang unik di dunia.

Berarung jeram ria di Jembatang akar Bayang ,

Kita dapat mulai turun ke air kira-kira dua ratus meter arah ku hulu dari jembatan akar da terus melaju kehilir sepanjang dua kilo meter dan finish di nagari asam kumbang

Menikmati jeram-jeram yang diselingi oleh batu-batu besar memang sangat mengasyikkan.

Ada tiga jeram yang seru di lintasan arung jeram jembatan akar ini yang akan menantang anda.

Lintasan arung jeram ini sangat cocok untuk liburan.

Tertarik? Yuk coba arus batang bayang di desa pulut-pulut ini.

Selamat berarung jeram.

Info untuk kenyamanan perjalanan wisata anda.

MENYUSURI KEINDAHAN BATANG KUANTAN, SIJUNJUNG, SUMATRA BARAT

Arung Jeram Di Sungai Batang Kuantan Sijunjung

Dikirim oleh: Medianta pada Rabu, 02 Juni 2004 - 11:13 PM GMT
Bila anda datang ke propinsi Sumatra Barat, anda akan menemui keindahan alam yang lengkap di Ranah Minang ini. Sumatra Barat punya pantai, danau, sungai, tebing, ngarai/lembah, gunung, hutan bahkan gua yang cocok dijual sebagai penyedot wisatawan, terutama bagi penggemar wisata petualangan –yang di Indonesia sekarang ini sedang ngetrend-ngetrendnya.

Bila anda datang ke propinsi Sumatra Barat, anda akan menemui keindahan alam yang lengkap di Ranah Minang ini. Sumatra Barat punya pantai, danau, sungai, tebing, ngarai/lembah, gunung, hutan bahkan gua yang cocok dijual sebagai penyedot wisatawan, terutama bagi penggemar wisata petualangan –yang di Indonesia sekarang ini sedang ngetrend-ngetrendnya.

Bila anda penggemar arung jeram, anda akan menemui banyak pilihan untuk menguji nyali anda. Di antara sungai-sungai yang bagus di Sumatra Barat, seperti batang Sinamar, batang Umbilin, dan sebagainya janganlah lewatkan kunjungan anda ke batang Kuantan. Di Kuantan, anda akan menemui keindahan sungai Sumatra Barat dengan jeram-jeram menantang, dan keindahan kanan kiri sungai dengan hutan lebat yang penuh dengan pesona sendiri. Sembari berperahu anda dapat melihat monyet-monyet berekor panjang, kera, babi hutan, bururng elang dan binatang lain yang cukup langka di kawasan batang Kuantan ini.

Dari kota Padang, letak batang Kuantan tidaklah cukup jauh. Hanya diperlukan waktu sekitar 4 jam dengan menggunakan bis untuk sampai di Muaro, Sijunjung. Lokasi sungai dekat dengan letak Kantor Bupati Sijunjung. Jadi bagi anda yang berminat datang ke Kuantan saya yakin akan mudah untuk sampai ke sana, tidak mungkin kesasar.
Bermain kayak dari Muaro ke Durian Gadang
Batang Kuantan merupakan pertemuan dari dua sungai, yaitu sungai besar batang Umbilin dan batang Palangki, dan di daerah Muaro, Sijunjung kedua sungai itu bertemu. Kami, tim air Palapsi UGM mulai mengarungi batang Kuantan dengan entry point dari pertemuan kedua batang di Muaro ini.
Di Muaro, kami menginap di sebuah gubug sawah yang kami temui di tepi batang Palangki, sekitar 20 meter dari “tempuran” batang Umbilin dan Palangki. Sembari membakar jagung dan ketela yang ditawarkan seorang penduduk yang bertemu kami disini, bermalam di pinggir batang sungai sungguh terasa lengkap rasanya bagi kami. Malam hari yang indah. Kami, tim air Palapsi UGM, saya (Adi), Agis, Nana, Benny, Wahyu dan Ucok akan menceritakan perjalanan kami mengarungi batang Kuantan ini.
Dalam pengarungan di batang Kuantan ini, kami menggunakan metode pengarungan raft support to kayaking, yaitu pengarungan sungai dengan perahu kayak yang dibarengi perahu karet yang berfungsi sebagai penyokongnya. Dengan komposisi tim; Agis di perahu kayak dan di perahu karet ada Beni dan Wahyu di bagian depan, dan Nana (yang juga bertindak sebagai fotografer) bersama Ucok di bagian belakang, serta aku bertindak sebagai driver perahu karet sekaligus koordinator tim air Palapsi dalam ekspedisi di Sumatra Barat. Di batang Kuantan ini kami yang menuruni sungai pertama kali dengan perahu kayak. Hal yang membuat kami bisa merasa sedikit berbangga, sebab sampai saat ini di Indonesia masih sangat jarang petualangan sungai dengan perahu kayak dilakukan.

Sekitar setengah jam mendayung santai barulah kami mendapati sebuah jeram di daerah Ampangan. Bukan jeram yang mempunyai tingkat kesulitan tinggi memang, cuma bergrade I/II sehingga kami yang di perahu karet melaju menembus jeram dengan santai tanpa kesulitan berarti. Walau yang mungkin harus diwaspadai adalah ternyata ada sebuah pohon tumbang di jalur kanan jeram. Ombak-ombak kecil dan sedikit manuver di jalur kiri, bagi Agis yang mengikuti kami di belakang tentunya bukanlah kesulitan yang berarti dibanding latihan kami sebelumnya untuk persiapan ekspedisi.
Setelah jeram yang pertama, kami sampai di daerah Muko-muko. Keadaan tepi jeram yang berbatu besar-besar akibat bentukan tebing yang runtuh di kanan-kiri sungai, membuat Nana, fotografer kami, mengalami kesulitan untuk berjalan kaki mencari posisi yang baik untuk mendokumentasikan aksi-aksi kami.

Aksi pun dimulai. Manuver yang cukup tajam di jeram Muko-muko cukup merepotkan kami sehingga perahu karet sempat terbentur pada sebuah stoper. Tapi untung keadaan ini dapat kami antisipasi dengan baik sehingga tidak memutar perahu atau membuat entrapment. Batu-batu yang berserakan tak beraturan memang cukup merepotkan, tapi untung keadaan sungai debet airnya tidak naik. Bila debet air tinggi jalur di jeram ini akan mempunyai kesulitan yang tinggi dan tentunya diperlukan kondisi yang fit dan skill yang prima untuk mengarungi jalur disini.
Setelah kami sampai di akhir jeram, giliran Agis dengan perahu kayaknya memasuki jeram setelah mendengar aba-aba peluit yang diberikan Nana dari atas tebing batu di tepi kiri sungai. Untuk mengantisipasi keadaan bila Agis terbalik di jeram, dari atas perahu Wahyu sudah siap dengan throw bag-nya. Dengan jalur sama yang perahu karet lewati, dengan tenang Agis menembus air yang membuih di depannya. Di tengah jeram yang standing wave-nya lumayan tinggi beberapa kali tubuh Agis terbenam hilang tersapu deburan ombak jeram. Maklumlah, dengan perahu kayak permukaan air cukup dekat dengan tubuh pendayungnya sehingga mau tak mau seorang kayaker harus berani menembus dan hilang termakan ombak yang dilaluinya. Dan, ups….! Hampir saja perahu akan terbalik saat perahu kayak membentur stoper yang yang ada di tengah jeram. Tapi dengan cekatan Agis menghindarinya, dan sampai juga ke arah kami di perahu karet. “Hm,… jeram yang ternyata cukup menaikkan kadar adrenalin juga!” pikirku sembari melihat aksi-aksi agis di jeram ini.

Setengah jam kemudian sampailah kami di daerah Silukat. Di Silukat, dari atas perahu kami melihat jalan yang baru dibangun yang menghubungkan Muaro dan desa Durian Gadang (desa tujuan kami), dan beberapa orang yang naik Cigak Baruak -yang kebetulan sedang lewat- melambai-lambai ke arah kami. Cigak Baruak adalah sejenis colt terbuka yang digunakan untuk alat transportasi di daerah ini. Cigak baruak dalam bahasa Minang sendiri berarti Kera dan Monyet.

Dan, Silukat. Silukat memanglah ngalau (tebing) yang menawarkan keindahan tersendiri dan cukup menantang bila anda gemar memanjat tebing. Di daerah Silukat kami menemukan mata air yang mengalir di antara sela-sela batu, sehingga kami mengisi pundi-pundi air kami dengan mata air tersebut, mengingat persedian air kami cukup menipis hari ini. Kekurangan air dapat menyebabkan bahaya dehidrasi. Seorang kayaker ataupun rafter akan banyak kehilangan cairan tubuh dan panas tubuh dalam aktivitasnya mendayung. Efeknya tubuh akan lemas. Bila tidak ditanggulangi secara dini kondisi ini cukup berbahaya.

Setelah berbasah-basah sebentar di mata air Silukat, kami melanjutkan perjalanan kembali dan tak seberapa lama kami sampai di daerah Lubuk Gadang. Di sini, kami mulai banyak menemui kegiatan penduduk sekitar Kuantan yang mencurahkan hidupnya sehari-hari dengan mendulang emas. Hal demikian menjadi tontonan tersendiri bagi kami. Dengan alat ala kadarnya mereka menyelam ke dasar sungai yang berarus tenang. Dengan peralatan ala kadarnya mereka menyelam ke dasar sungai, yang katanya, dengan sebuah pipa pernapasan oksigen yang sederhana seorang pendulang bisa satu jam menyelam di dasar sungai. “Gila! ujarku dengan nada kurang yakin ketika Agis menerangkan hal itu kepadaku. Kuantan memanglah sungai yang kaya, yang tidak saja menawarkan keindahan bagi penikmat arung jeram, namun juga memberi keindahan lain bagi penduduk sekitarnya, yaitu emas.

Lama mendayung, ternyata menyebabkan perut keroncongan juga minta diisi. Akhirnya kami menepikan perahu dan mencari tempat untuk makan siang. Sembari melepas lelah sesaat dan bercanda, tak lupa kami berpotret-potretan sebentar untuk mengabadikan panorama indah di Lubuk Gadang.

Hanyut di Jeram Besar

Di depan sebuah jeram menanti kami untuk menantangnya. Perahu karet yang dalam ekspedisi ini berfungsi sebagai penyokong perahu karet melaju terlebih dahulu dikuti perahu kayak di bagian belakang. Dan, ups….! Perahu kayak terbalik setelah membentur sebuah stoper di tengah sungai. Beberapa kali Agis terlihat akan melakukan teknik eskimo roll (teknik membalikkan perahu ke posisi semula), tapi tak urung hal itu tak dapat ia lakukan sebab spray shirt-nya sudah terlepas terlebih dulu. Wahyu yang berada di atas perahu karet melemparkan throw bag untuk membantu Agis menepi. Memang bermain dengan perahu kayak bisa dikatakan susah. Perahu yang labil, terbentur batu sedikit saja bisa membuat perahu oleng dan terbalik. Bila hal ini terjadi di jeram yang tingkat kesulitannya rendah sich, tak mengapa. Akan menjadi masalah bila terbalik di jeram yang bergrade tinggi.

Sengatan matahari yang terasa panas menyambut kedatangan kami di Palukan. Dengan kondisi medan yang terlihat cukup berbahaya membuat kami untuk harus melakukan scouting terlebih dahulu. Scouting adalah suatu cara untuk melihat medan sungai yang akan dilalui lewat darat. Di jeram Palukan ini, air yang membuih seputih kapas adalah suatu tantangan yang riskan untuk dinikmati. Sebuah jeram dengan tingkat kesulitan IV, ada dua hole besar yang siap menghadang dan empat reversal yang siap menelan siapapun yang hanyut didalamnya.

Melihat jeram itu, setelah berunding sebentar, kami pun memutuskan untuk melewatinya. Berpetualang memang sarat dengan resiko. Dalam dunia pecinta alam di kenal istilah subjective danger dan objective danger. Subjective danger adalah bahaya yang disebabkan pelakunya yang tidak menguasai skill dengan baik, sedang objective danger adalah bahaya yang disebabkan karakteristik alam memang beresiko besar. Dalam berkegiatan kita dituntut untuk bisa memadukan kedua hal tersebut.
Perahu karet yang aku kendalikan melaju terlebih dahulu. “Powernya, Ben! Power!” teriakku pada Beni dan Wahyu yang berada di posisi depan, saat akan memasuki turunan sungai. Namun aku lihat sepertinya Beni dan Wahyu kurang mampu mengantisipasi arus saat moncong perahu memasuki entry jeram yang tak karuan di depannya. Akibatnya, perahu karet pun tersedot hole besar, berputar dan beberapa lama terjebak disitu.

Dengan penuh perjuangan kami berusaha melepaskan perahu dari jebakan ‘big hole’ ini. Walau akhirnya terlepas, Wahyu yang berada di kiri depan perahu ternyata terlempar keluar ke jeram dan hanyut dimakan reversal Palukan yang berbuih seputih kapas. Terus terang, saya sedikit grogi juga melihat Wahyu yang terlempar di jeram. Beni pun siap-siap mengambil throw bag yang dikaitkan di sampingnya. Akhirnya Wahyu dapat menepi bersandar pada sebuah batu dengan wajah pucat dihampiri fotografer kami, Nana yang berusaha menghiburnya. “Huh,….hanyut di jeram seperti ini. Siapa yang tidak pucat pasi. Kami cukup lega, karena Wahyu tidak apa-apa. Alhamdulillah.
Setelah satu jeram sehabis daerah Palukan, sebuah jembatan gantung samar-samar terlihat oleh pandangan kami. Itu artinya, sebentar lagi kami akan sampai di tempat tujuan kami hari ini. Kami akan bertemu dengan teman-teman kami dari divisi Caving dan divisi Litbang di desa Durian Gadang yang lebih dahulu datang untuk melakukan penelitian tentang budaya di desa Durian Gadang, serta eksplorasi dan pemetaan gua di sekitar Durian Gadang.

Melanjutkan Perjalanan

Malam kemarin mungkin malam yang cukup menyenangkan bagi kami. Berjalan-jalan di desa Durian Gadang sedikitnya menghibur kami, sehingga seakan-akan kami menemukan bagian dari hidup yang ramai kembali. Apalagi obrolan teman-teman tentang Wahyu yang hanyut di jeram Palukan sering kali disindir diantara kami. Maklumlah, sebelum berangkat ekspedisi ke Sumatra Barat ini, beberapa kali Wahyu mengalami kejadian serupa di sungai Serayu, Jawa Tengah dan sungai Citatih, Jawa Barat.

Hari yang telah pagi di keesokkan hari membuat kami harus bergegas-gegas untuk perjalanan berikutnya ke tempat finish point dalam pengarungan di Batang Kuantan yaitu di desa Pintu Batu, Tanjung Gadang. Berbeda dengan komposisi tim pengarungan kemarin, kali ini Agis tidak turun dengan perahu kayaknya. Hal ini sengaja kami tempuh dengan pertimbangan karena keadaan sungai cukup berbahaya dan jarak perjalanan hari ini yang cukup jauh sekitar 35 km. Dari studi peta, sejauh jarak 35 km yang akan kami tempuh, antara Durian Gandang – Pintu Batu tidak ada satu desa pun yang akan kami temui. Dengan keadaan sungai yang berhutan tropis lebat membuat kami berpikir dua kali bila harus berkemah di tepi sungai dan hutan yang belum kami kenal ini.

Sekitar pukul delapan kami berangkat meninggalkan desa Durian Gadang diiringi lambaian teman-teman kami dari tim Caving dan tim Litbang. Penduduk Durian Gadang yang ramah, dan kerinduan setelah beberapa hari tak jumpa dengan teman-teman sepertinya masih terasa di perahu saat jeram pertama di hari ini kami lalui. Sehingga tanpa terasa kami sudah sampai di daerah Silukah. Di Silukah ini, kabarnya, banyak goa yang belum pernah dijamah oleh penduduk setempat. Mungkin hal ini membuat kawan-kawan kami tertantang untuk mengeksplorasinya. Jeram yang membelah diantara dua tebing di sinipun, ternyata tidak kalah serunya. Cukup menantang. Membuat kami harus benar-benar berkonsentrasi bila ingin melewatinya.
Di jeram Silukah kami melakukan scouting. Setelah melihat medan, dan berdiskusi sebentar perahu pun melaju menerjang buih ombak yang memutih di depan. Teriakan-teriakan bahagia dari para awak perahu, karena perahu seakan-akan terbang ketika melewati beberapa reversal membuat kegaduhan tersendiri di tempat itu yang biasanya sunyi dari manusia.

Batang Kuantan di bagian hilir ini, sungguh berbeda keadaannya dengan Batang Kuantan bagian hulu yang telah kami lalui. Pagar hutan yang tinggi menjulang di kanan kiri sungai, membuat kami seakan-akan berada di tempat yang tidak tentu rimbanya. Kera-kera berekor panjang yang bergelantungan di atas pohon sekitar sungai membuat kegaduhan tersendiri melihat kedatangan kami. Terlebih canda teman-teman melihat ulah kera-kera itu membuat kami tertarik untuk saling menyindir. Seperti berbalas pantun meledek diri kami masing-masing.

Aku yang lebih banyak diam, sering kali senyum-senyum sendiri mendengar obrolan “punakawan” kami yang saling bercanda, yang akrab tapi juga sering tidak akur.
Tak berapa lama, di pinggir sungai yang berpasir kami menemukan jejak seekor binatang. Hal itu menyita perhatian kami berenam untuk memperhatikan secara lebih seksama jejak-jejak yang kami temui. Sepertinya jejak harimau. Mungkin di tempat ini binatang itu biasa mengambil air. Membuat kami agak bergindik ngeri, dan melanjutkan perjalanan kembali. Memang, di sekitar hutan sini binatang buas bukanlah barang yang asing. Babi rusa atau pun harimau akan mudah kita temui di hutan ini. Walau begitu, beberapa kali kami mendapati beberapa kemah para pendulang emas di tepi sungai ini. Seakan-akan tidak takut bila ada binatang buas yang akan menghampiri kemah mereka.

Sepanjang sungai yang telah kami lalui di sini panoramanya memang tak seindah pemandangan yang kami temui kemarin. Di sini, sebatas kami memandang kanan kiri sungai yang tampak hanyalah pohon dan pohon yang tinggi. Terlebih dengan panjangnya arus tenang antara jeram satu dan jeram berikutnya, membuat kami ingin cepat-cepat sampai ke daerah Pintu Batu, tempat finish kami. Mendayung sekian waktu, ternyata membuat kami lapar juga. Karena ingin cepat sampai, akhirnya acara makan siang pun kami lakukan di atas perahu, sembari menikmati pemandangan sekitar. Nana dan Ucok yang selalu siap sebagai juru hidang kami, kemudian sibuk menyiapkan roti dan makanan untuk kami. Sepertinya kami sedang wisata. Bukan berekspedisi.

Setelah jeram-jeram yang tingkat kesulitannya tidak begitu tinggi, ternyata di depan kami sudah menunggu jeram yang cukup menantang. “Aku kira cukup layak dihargai bergrade III+”, pikirku sembari melakukan “on sight”. On sight adalah suatu teknik melihat medan sungai dari atas perahu. “Awas, stoper kiri, Ben!” teriakku agar Beni yang berada di posisi kanan melakukan dayung tarik. Sekali lagi, di jeram ini perahu seakan-akan terbang ketika menembus standing wave yang lumayan besar. Riuh teriakan bahagia kami menikmati situasi yang ada sepertinya memudarkan kesunyian yang bungkam sejak tadi. Terlebih dengan adanya deburan ombak yang sampai kewajah-wajah kami, sebuah rasa nikmat tersendiri bagi setiap penikmat arung jeram.

Akhirnya sekitar jam empat sore kami sudah sampai di desa Pintu Batu. Kami tiba lebih awal dari dugaan kami semula. Di sini kami mendapati tempat finish yang cukup indah. Sungguh cocok memang bila Kuntan di kembangkan sebagai tempat wisata.
Setelah istirahat dan menunggu angkutan yang kami sewa, sekitar pukul sepuluh malam kami meninggalkan desa Pintu Batu untuk kembali ke tempat kami sebelumnya, Muaro. Jarak Pintu Batu ke Muaro dengan perjalanan darat relatif lebih dekat bila dibandingkan dengan jarak perjalanan lewat air. Sekitar pukul 12 malam dengan tubuh yang relatif lelah akhirnya tiba juga kami di asrama Haji Muaro, Sijunjung –tempat kami menginap- sebelum balik kembali ke kota Padang.

Pengalaman yang menyenangkan. Bila anda pernah nonton film “Forest Gump” yang karenanya Tom Hanks dapat sebuah oscar, ada sebuah filosofi yang diajarkan, yaitu “Hidup itu seperti sekotak coklat. Kita tidak tahu apa rasa di dalamnya, sampai kita habis memakannya.” Rasanya, bermain arung jeram seperti di atas dapat kita jadikan sarana untuk menyelami “rasa coklat” hidup itu sebenarnya. Kita tak akan pernah tahu apa rasa coklat itu, sebelum kita mencoba untuk tahu apa rasa coklat itu. Semoga bermanfaat. Avignam Jagad Samagram. Salam.

Ditulis oleh:
Adi Mardianto
Pecinta Alam Psikologi UGM
PLP/2357

Info untuk kenyamanan perjalanan wisata anda.